Berbagai
penemuan sejarah menunjukan bahwa kain tenun lurik telah ada di jawa
sejak zaman pra sejarah. Ini terbukti pada Prasasti peninggalan
kerajaan Mataram (851-882 M) yang menunjukkan adanya kain lurik pakan
malang. Prasasti Raja Erlangga Jawa Timur tahun 1033 yang menyebutkan
bahwa kain tuluh watu adalah salah atu nama kain lurik. Dan juga
pemakaian selendang pada arca terracotta asal Trowulan di Jawa Timur
dari abad 15 M menunjukkan penggunaan kain lurik pada masa itu. Adanya
tenun di pulau Jawa diperkuat dengan pemakaian tenun pada arca-arca dan
relief candi yang tersebar di pulau Jawa. Daerah persebaran Lurik
adalah di Yogyakarta, Solo dan Tuban. Lurik berasal dari bahasa Jawa
kuno
lorek yang berarti lajur atau garis, belang dapat pula
berarti corak. Pada dasarnya lurik memiliki 3 motif dasar, yaitu:
1)
motif lajuran dengan corak garis-garis panjang searah sehelai kain
2)
motif pakan malang yang memiliki garis-garis searah lebar kain,
yang
ke-3) motif cacahan adalah lurik dengan corak kecil-kecil.
Pada
jaman dahulu, kain lurik ditenun menggunakan benang katun yang dipintal
dengan tangan dan ditenun menjadi selembar kain dengan alat yang
disebut Gedog, alat ini menghasilkan kain dengan lebar 60cm saja.
Seiring dengan perkembangan jaman, kain lurik mulai diproduksi
menggunakan ATBM (Alat Tenun Bukan Mesin) yang lebih modern dan dapat
menghasilkan kain dengan lebar 150cm. Proses pemintalan kain katun sudah
dilakukan secara moderen, yaitu menggunakan mesin. Salah satu inti
yang membuat sebuah kain disebut sebagai kain lurik adalah penggunaan
benang katun, sehingga menghasilkan tekstur yang khas pada kain ini.
Sehingga sebuah kain bermotif lurik yang dipintal dari benang
polyester, tidak dapat disebut sebagai kain lurik, karena teksturnya
yang berbeda dengan kain lurik yang terbuat dari katun.
Karena
teksturnya yang khas dan kekuatan kain ini, penggunaan kain lurik tidak
terbatas untuk pemakaian sehari-hari seperti pakaian dan kain gendong
namun juga digunakan untuk perlengkapan interior. Yang menyenangkan
dari kain lurik adalah, meskipun ketika masih baru teksturnya sangat
kasar dan kaku, namun ketika telah digunakan beberapa lama, teksturnya
berubah menjadi lebih lembut tapi tidak berkurang kekuatannya.
Pada
awalnya, kain lurik hanya dibuat dalam dua warna saja, yaitu hitam dan
putih dengan corak garis atau kotak, namun kini banyak terdapat kain
lurik dengan beragam warna, seperti biru, merah, kuning, coklat dan
hijau. Yang membedakan tiap motif adalah susunan warnanya, misalnya 3
warna merah, 4 warna biru dengan bahan dasar hitam. Masing-masing
komposisi warna dan garis pada kain lurik memiliki makna tertentu.
Seperti kain lurik gedog madu, yang digunakan pada upacara mitoni atau
siraman; kemudian ada lagi kain lurik motif lasem yang digunakan untuk
perlengkapan pengantin pada
Laporan wartawan KOMPAS Mawar Kusuma Wulan
Jumat,
30 Juli 2010 | 08:47 WIB
YOGYAKARTA,
KOMPAS.com — Modifikasi kain lurik Yogyakarta menjadi beragam
produk, seperti pakaian dan aksesori semakin digemari masyarakat. Jelang
Lebaran kali ini, permintaan kain lurik dari masyarakat sudah meningkat
hingga dua kali lipat dibandingkan dengan hari biasa.
Kekhasan
corak kain lurik tradisional dan proses pembuatannya yang masih
menggunakan tangan menyebabkan nilai jual produk turunan kain lurik
tinggi. Tak hanya pasar dalam negeri, kain lurik pun mulai merambah
pangsa luar negeri.
"Kami ingin mengangkat lurik yang selama ini
hanya dijual sebagai kain selendang agar bisa menyentuh generasi muda,"
kata Manajer Direktur Kerajinan Lawe Fitria Werdiningsih saat ditemui di
bengkel kerja Lawe di Bugisan, Bantul, DI Yogyakarta, Kamis
(29/7/2010).
Sebelum ada upaya modifikasi, kain lurik sering
kali dicap kuno, tidak trendi, dan berwarna gelap. Kini, beragam gerai
kerajinan, seperti Lawe, mulai memberikan sentuhan inovasi baru lewat
pewarnaan yang lebih cerah dengan motif beragam. Namun, pembuatan kain
lurik dipertahankan melalui cara tradisional dengan penggunaan alat
tenun bukan mesin.
Lawe bekerja sama dengan 50 penenun tradisional
di Bantul dan 20 penjahit. Beberapa produk yang dihasilkan berupa
gantungan kunci, dompet, tas, pakaian, hingga bed cover. Harga beragam
produk itu berkisar antara Rp 5.000 dan Rp 1,1 juta. Rentang harga
pakaian lurik Rp 200.000-Rp 300.000 per potong. Bidikan utama Lawe
adalah masyarakat kelas menengah ke atas.
Kelompok usaha bersama
abdi dalem Keraton di Kota Gede juga tertarik menggalakkan usaha kecil
pembuatan pakaian tradisional dari kain lurik. Mereka memanfaatkan motif
kain lurik tradisional yang didominasi warna hitam, cokelat, dan putih.
Menurut salah satu anggotanya, Budi Raharjo, setiap orang bisa
menyelesaikan dua pakaian lurik per hari yang dijual Rp 120.000 per
potong.
Pangsa pasar kain lurik pun terbuka luas. Tak
hanya Yogyakarta, beberapa kota besar, seperti Jakarta dan Denpasar,
juga meminati kain lurik. Menurut Fitria, Lawe juga telah mengembangkan
pemasaran dengan mulai merintis ekspor dengan pengiriman sampel produk
ke Belgia dan Australia.
sumber:
http://www.houseoflawe.com/id/jelajah/sejarah-lurik.html
Abstrak
"Indonesia
dikaruniai keragaman suku bangsa yang masing-masing memiliki budayanya
sendiri. Hal tersebut terlihat pula pada cara berpakaian yang tidak sama
antara satu suku bangsa dengan suku bangsa lainnya, berbeda dalam
gaya, bentuk serta bahan yang digunakan, kemudian menjadi ciri khas
masing-masing daerah bersangkutan. Demikian halnya dengan masyarakat
Jawa di Yogyakarta, memiliki pakaian tradisional yang khas, yaitu salah
satunya lurik."
Lurik merupakan nama kain, kata lurik
sendiri berasal dari bahasa Jawa, lorek yang berarti garisgaris, yang
merupakan lambang kesederhanaan. Sederhana dalam penampilan maupun dalam
pembuatan namun sarat dengan makna (Djoemena, Nian S., 2000). Selain
berfungsi untuk menutup dan melindungi tubuh, lurik juga memiliki fungsi
sebagai status simbol dan fungsi ritual keagamaan. Motif lurik yang
dipakai oleh golongan bangsawan berbeda dengan yang digunakan oleh
rakyat biasa, begitu pula lurik yang dipakai dalam upacara adat
disesuaikan dengan waktu serta tujuannya.
Nama motifnya diperoleh dari nama flora, fauna, atau dari
sesuatu benda yang dianggap sakral. Motif lurik tradisional memiliki
makna yang mengandung petuah, cita-cita, serta harapan kepada
pemakainya. Namun demikian saat ini pengguna lurik semakin sedikit
dibandingkan beberapa puluh tahun yang lalu. Perajinnya pun dari waktu
ke waktu mulai menghilang.
Lurik menurut Ensiklopedi Nasional
Indonesia (1997) adalah suatu kain hasil tenunan benang yang berasal
dari daerah Jawa Tengah dengan motif dasar garis-garis atau kotak-kotak
dengan warna-warna suram yang pada umumnya diselingi aneka warna
benang. Kata lurik berasal dari akar kata rik yang artinya garis atau
parit yang dimaknai sebagai pagar atau pelindung bagi pemakainya.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990), lurik adalah kain tenun
yang memiliki corak jalurjalur, sedangkan dalam Kamus Lengkap Bahasa
Jawa(Mangunsuwito:20 02) pengertian lurik adalah corak lirik-lirik atau
lorek-lorek, yang berarti garis-garis dalam bahasa Indonesia.
Dan berbagai definisi yang telah
disebutkan di atas, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa lurik
merupakan kain yang diperoleh melalui proses penenunan dari seutas
benang (lawe) yang diolah sedemikian rupa menjadi selembar kain katun.
Proses yang dimaksud yaitu diawali dari pembuatan benang tukel, tahap
pencelupan yaitu pencucian dan pewarnaan, pengelosan dan pemaletan,
penghanian, pencucuk-an, penyetelan, dan penenunan. Motif atau corak
yang dihasilkan berupa garis-garis vertikal maupun horisontal yang
dijalin sedemikian rupa sesuai warna yang dikehendaki dengan berbagai
variasinya.
Tidak banyak ditemui
tulisan mengenai kain tenun lurik. Hanya ada beberapa saja, antara lain
yang ditulis oleh Nian S.Djoemena dalam bukunya yang berjudul Lurik,
Garis-garis Bertuah. Dalam buku tersebut dijelaskan mengenai proses
pembuatan kain lurik beserta alat yang digunakan. Selain itu, diuraikan
pula mengenai macam macam motif lurik, makna, waktu pemakaian, dan
fungsinya secara garis besar terutama dalam acara ritual keagamaan dan
dalam upacara perkawinan. Lurik yang diuraikan dalam buku tersebut
tidak hanya terbatas pada motif lurik Yogyakarta, ada pula motif Jawa
Tengah dan Tuban, ada pula motif irip lurk yang terdapat di luar Jawa
maupun Juan Indonesia. Namun, buku ini belum menjelaskan lebih lanjut
mengenai perkembangan lurik saat ini dan usaha pelestariannya. Kain
lurik merupakan kain tenun dengan motif garisgaris pada sehelai kain.
Kata Lurik berasal dari bahasa Jawa yaitu lorek yang berarti lajur atau
garis (Djoemena, Nian.S: 2000). Namun pakaian atau kain dengan motif
lorek tidak dapat secara langsung disebut lurik, karena lurik harus
memenuhi persyaratan yang berkaitan dengan bahan tertentu dan diolah
melalui proses tertentu pula, mulai dari pewarnaan, pencelupan,
pengkelosarf, pemaletan, peghanian, pencucukan, penyetelan, sampai pada
penenunan, hingga nantinya menjadi kain yang slap dipakai. Motif kain
lurik ternyata tidak hanya berupa garis-garis membujur saja, tetapi
dalam perkembangannya kemudian, motif kotak-kotak sebagai hasil
kombinasi antara garis melintang dengan garis membujur dapat
dikategorikan sebagai lurik.
Tidak hanya berupa garis, motif kain
lurik ada juga yang berupa kotak-kotak yang merupakan perpaduan dua
garis vertikal dan horisontal yang pada kain tenun yang bercorak garis
atau kotak saja, akan tetapi termasuk pula kain polos dengan berbagai
warna, seperti merah dan hijau atau dikenal dengan nama lurik polosan.
Seperti apa yang diungkapkan Dibyo bahwa "Sifat lurik yaitu: bahannya
dari katun, gambar garis, tetapi kadang bikin kotak-kotak, ataupun
polos. Meskipun polos, namanya tetap lurik."
Nilai
Kehidupan
Salah satu keunggulan manusia adalah bahwa ia
memiliki daya kreatif untuk membuat, membentuk apa yang ada di
sekelilingnya, kemudian diolah menjadi sesuatu yang bermanfaat. Daya
kreativitas tersebut merupakan bagian yang penting dalam proses berkarya
seni. Seni merupakan kegiatan kreatif imajinasi manusia untuk
menerangkan, memahami, dan menikmati kehidupan (Haviland:1993). Dengan
daya kreatif yang dimilikinya, manusia berusaha menciptakan pakaian yang
dibuat dari kapas atau bahan lain, kemudian ditenun menjadi kain. Kain
dijahit menjadi pakaian.
Seni
memiliki tujuan praktis. Tujuan praktis ini merupakan guna atau manfaat
yang diperoleh secara langsung bagi penggunanya. Tujuan praktis dari
pakaian yaitu untuk melindungi tubuh dari hawa dingin, gigitan
serangga, terik matahari dan berbagai gangguan lainnya. Selain itu seni
memiliki fungsi sebagai norma perilaku yang teratur, meneruskan adat
kebiasaan dan nilai-nilai budaya (Haviland:1993). Dalam adat
berpakaian, seperti dalam penggunaan kain lurik, terdapat nilai budaya
yang akan disampaikan dan untuk diteruskan kepada generasi selanjutnya.
Pada suatu masyarakat tradisional,
selain memiliki fungsi guna atau manfaat, pakaian seringkali memiliki
fungsi lain seperti fungsi status simbol, maupun ritual keagamaan, pada
motif- motif tertentu terdapat kandungan nilai, harapan, dan
sebagainya. Orang yang memiliki kedudukan sosial tinggi berbeda
pakaiannya dengan orang yang status sosialnya lebih rendah, pakaian
yang dikenakan seorang bangsawan berbeda dengan rakyat biasa, entah itu
berbeda model maupun motifnya. Begitu pula pakaian yang dipakai untuk
upacara tertentu berbeda dengan yang dipakai pada hari biasa.
Sesuai dengan keanekaragaman umat
manusia, pakaian yang digunakan juga bermacammacam dan bervariasi. Pada
masyarakat yang masih menjunjung tinggi nilai-nilai tradisinya seperti
yang terdapat pada kelompok-kelompok suku bangsa di Indonesia, pakaian
yang digunakan menunjukkan identitas dari suatu suku bangsa. Dalam hal
ini pakaian bukanlah semata-mata sebagai suatu benda materi yang hanya
dipakai tanpa memiliki arti apapun. Kain lurik misalnya, merupakan
suatu simbol karena ia memiliki makna. Simbol merupakan tanda yang
dapat ditafsirkan (Geertz:1992,17) atau diekplanasikan. Makna-makna
tersebut merupakan sesuatu yang tidak tampak tetapi dapat dilihat
melalui penafsiranpenafsiran, pemahaman-pemahaman yang kemudian ditata
sedemikian rupa. Simbol merupakan segala sesuatu (benda, peristiwa,
tindakan, ucapan, dan sebagainya) yang telah ditempeli arti tertentu.
Simbol bukan milik individu, namun milik suatu kelompok masyarakat.
Kelompok masyarakat tersebut terdiri dari sekumpulan orang yang
memiliki sistem pengetahuan, gagasan, ide, adat kebiasaan serta norma
perilaku yang sama, yang diungkapkan dalam tata cara kehidupan manusia
yang terwujud dalam benda-benda budaya.
Kain tenun lurik merupakan
salah satu benda budaya karena dimiliki oleh suatu masyarakat tertentu.
Benda ini merupakan wujud fisik dari ide, nilai, maupun norma yang
mengatur dan memberi arah bagi masyarakat pada suatu kebudayaan
tertentu. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Koentjaraningrat (2000)
bahwa terdapat tiga wujud kebudayaan, yaitu norma sebagai tata kelakuan
yang mengatur dan memberi arah, aktivitas yang berpola, dan benda
hasil karya manusia sebagai wujud fisiknya.
Manusia tidak dapat terlepas dari simbol, karena manusia
adalah binatang yang terjerat dalam jaringan-jaringan makna yang
ditenunnya sendiri (Geertz:1992). Di setiap waktu dan disegala tempat,
manusia selalu berhubungan dengan simbol atau lambang karena is
berpikir, berperasaan, dan bersikap dengan ungkapanungkapan simbolis
(Herusatoto: 1987). Simbol atau lambang ini merupakan hal yang penting
bagi masyarakat pendukungnya. Menurut Ernst Cassirer (1944) bahwa
manusia tidak dapat melihat„ menemukan, dan mengenai dunia secara
langsung tetapi melalui berbagai simbol. Simbol yang terwujud dalam
benda-benda budaya, dalam hal ini adalah kain tenun lurik merupakan
sesuatu yang penting bagi masyarakat pendukungnya. Melalui kain lurik
ini terdapat pesan, nasihat dan panduan hidup yang disampaikan dan
diharapkan nantinya dapat terus diteruskan ke generasi selanjutnya.
Terdapat beberapa hal mengenai simbol seperti ditulis oleh C.A Van
Peursen (1976), bahwa simbol atau lambang memperlihatkan kaidah dalam
perbuatan manusia. Kaidah itu berhubungan dengan seluruh pola
kehidupan, perbuatan, dan harapan manusia. Simbol muncul ketika manusia
sedang belajar dan untuk menampung hasil belajarnya manusia menggunakan
media bahasa, baik bahasa lisan, tulisan, gerak, maupun visual.
Pengetahuan yang diperoleh manusia dari hasil belajar semakin lama
semakin bertambah. Untuk mempermudah penyerapan pengtahuan yang semakin
banyak tersebut, bahasa kemudain dialihkan menjadi lambang, simbol
abstrak. Pengertian bahasa disini menjadi meluas meliputi berbagai
bentuk lambang berupa tarian, gambar, kata, maupun isyarat. Lambang yang
diungkapkan melalui media bahasa ini digunakan dalam rangka
meneruskan, mewariskan ajaran kepada generasi setelahnya. Dari simbol
yang terdapat pada kain lurik ini dapat ditemukan harapan, ungkapan,
pelajaran positif yang dapat diambil dan dijadikan pelajaran bagi
generasi selanjutnya dalam menentukan langkah menuju kehidupan yang
lebih baik. Meskipun saat ini tidak banyak lagi yang mengetahui apa
makna dibalik motif lurik, namun ada sebagian orang yang berusaha
bertahan untuk membuat dan mengenakannya baik dalam acara-acara
tertentu, maupun dalam kehidupan sehari-hari.
Sejarah
Lurik
Dalam Ensiklopedi Nasional Indonesia (1997)
disebutkan bahwa lurik diperkirakan berasal dari daerah pedesaan di
Jawa, tetapi kemudian berkembang, tidak hanya menjadi milik rakyat,
tetapi juga dipakai di lingkungan keraton. Pada mulanya, lurik dibuat
dalam bentuk sehelai selendang yang berfungsi sebagai kemben (penutup
dada bagi wanita) dan sebagai alat untuk menggendong sesuatu dengan
cara mengikatkannya pada tubuh, sehingga kemudian lahirlah sebutan
lurik gendong. Dan beberapa situs peninggalan sejarah, dapat diketahui
bahwa pada masa Kerajaan Majapahit, lurik sudah dikenal sebagai karya
tenun waktu itu. Bahwa lurik sudah menjadi bagian dari kehidupan
masyarakat lampau, dapat dilihat dari cerita Wayang Beber yang
menggambarkan seorang ksatria melamar seorang putri Raja dengan alat
tenun gendong sebagai mas kawinnya. Keberadaan tenun lurik ini tampak
pula dalam salah satu relief Candi Borobudur yang menggambarkan orang
yang sedang menenun dengan alat tenun gendong. Selain itu adanya temuan
lain, yaitu prasasti Raja Erlangga dari Jawa Timur pada tahun 1033
menyebut kain Tuluh Watu sebagai salah satu nama kain lurik (Djoemena,
Nian.S:2000).
Pada awalnya, motif
lurik masih sangat sederhana, dibuat dalam warna yang terbatas, yaitu
hitam, putih atau kombinasal antarkeduanya. Pada jaman dahulu proses
pembuatan tenun lurik ini dimulai dari menyiapkan bahan yaitu benang
(lawe). Benang ini berasal dari tumbuhan perdu dengan warna dominan
hitam dan putih. Selanjutnya, benang tadi diberi warna dengan
menggunakan pewarna tradisional, yaitu yang bernama Tarum) dan dari
kulit batang mahoni. Hasil rendaman daun pohon Tom menghasilkan warna
nila, biru tua, dan hitam, sedangkan kulit batang mahoni menghasilkan
warna coklat.
Sebelum ditenun,
benang dicuci berkali-kali, kemudian dipukul-pukul hingga lunak
(dikemplong), setelah itu dijemur, lalu dibaluri nasi dengan
menggunakan kuas yang terbuat dari sabut kelapa. Setelah bahan atau
benang ini kaku, kemudian diberi warna. Setelah itu dijemur kembali dan
benang siap untuk ditenun. Dahulu, alat yang digunakan untuk menenun
dikenal dua macam alat, yaitu alat tenun bendho dan alat tenun gendong.
Adapun alat tenun bendho terbyat dari bambu atau batang kayu, biasanya
digunakan untuk membuat stagen. Stagen yaitu ikat pinggang dari
tenunan benang yang sangat panjang dan digunakan untuk pengikat kain
(jarik) oleh para wanita Jawa. Alat tenun ini digunakan dengan posisi
berdiri. Disebut sebagai alat tenun bendho karena alat yang digunakan
untuk merapatkan benang pakan berbentuk bendho (golok), sedangkan alat
tenun gendong digunakan untuk membuat bahan pakaian, selendang lebar,
maupun jarik (kain panjang). Disebut demikian karena salah satu
bagiannya diletakkan di belakang pinggang, sehingga tampak seperti
digendong. Dalam proses pembuatan kainnya, penenun dalam posisi duduk
memangku alat tenun tersebut.
Dahulu, kain lurik dipakai hampir oleh
semua orang, sebagai busana sehari-hari. Untuk wanita dibuat kebaya,
atau tapih/nyamping/jarik (kain untuk bawahan). Untuk pria, sebagai
bahan baju pria, di Solo disebut dengan beskap, sedangkan di Yogyakarta
dinamakan dengan surjan. Selain itu, lurik juga dibuat selendang
(jarik gendong) yang biasanya dipakai oleh bakul (pedagang) di pasar
untuk menggendong tenggok (wadah yang terbuat dari anyaman bambu),
terutama di daerah Solo dan Klaten Jawa Tengah. Selain dibuat untuk
bahan pakaian ataupun selendang, yang lebih penting lagi bahwa kain
lurik ini dahulu digunakan dalam upacara yang berkaitan dengan
kepercayaan, misalnya labuhan ataupun upacara adat lain seperti ruwatan,
siraman, mitoni, dan sebagainya.
Beberapa Macam Corak
Lurik
Meskipun motif lurik ini hanya berupa garisgaris,
namun variasinya sangat banyak. Terdapat banyak ragam motif kain lurik
tradisional, seperti yang ditulis oleh Nian S.Djoemena (2000) mengenai
nama-nama corak, yaitu antara lain: corak klenting kuning, sodo sakler,
lasem, tuluh watu, lompong keli, kinanti, kembang telo, kembang mindi,
melati secontong, ketan ireng, ketan salak, dom ndlesep, loro-pat,
kembang bayam, jaran dawuk, kijing miring, kunang sekebon, dan
sebagainya. Dalam Ensiklopedi Indonesia (1997) di-
sebutkan pula beberapa motif seperti
ketan ireng, gadung mlati, tumenggungan, dan bribil. Dalam
perkembangannya muncul motif- motif lurik baru yaitu: yuyu sekandang,
sulur ringin, lintang kumelap, polos abang, polos putih, dan masih
banyak lagi. Motif yang paling mutahir adalah motif hujan gerimis,
tenun ikat, dam mimi, dan galer.
Dahulu
macam ragam corak lurik sangat banyak, tetapi sekarang banyak yang
sudah terlupakan. Tidak semua orang termasuk para perajin lurik yang
ada sekarang ini tahu dan ingat motif apa saja yang pernah ada, seperti
yang dialami oleh Pak Dibyo. Saat ini perusahaan tenun lurik seperti
milik Bapak Dibyo Sumarto, yaitu perusahaan tenun lurik Kurnia tidak
membuat motif lurik seperti yang disebutkan di atas, karena peminatnya
tidak ada lagi. Motif-motif lurik yang sekarang dibuat lebih
bervariasi, disesuaikan dengan warna-warna yang sedang disukai atau
sedang trend. Jadi, motif atau corak lurik yang ia buat cenderung
selalu berubah dan makin berkembang. Beberapa motif disesuaikan dengan
yang dikehendaki oleh para pembeli. Begitu pula dengan perusahaan tenun
lurik yang dikelola oleh Ibu Nur. Beliau bahkan tidak banyak membuat
motif tenun jika tidak ada pesanan. Beberapa kain lurik ia buat saat
ini lebih banyak untuk seragam sekolah dan selendang. Begitu pula
dengan perusahaan tenun Kurnia yang lebih banyak mendapatkan pesanan
dari sekolah-sekolah yang membutuhkan seragam. Selain itu pembelinya
kebanyakan dari siswa sekolah yang sedang praktek tata busana.
Namun demikian, perusahaan tenun ini masih
membuat beberapa kain lurik tradisional yang masih dipakai dari jaman
dulu hingga sekarang, yaitu yang dipakai di lingkungan keraton seperti
yang dikenakan oleh para abdi dalem dan para prajuritnya.
Motif yang
dipakai para abdi dalem kerajaan tersebut dinamakan corak telu-pat
atau tiga empat dalam bahasa Indonesia. Pakaian dengan motif ini
dinamakan baju peranakan. Baju ini dikenakan oleh mereka ketika sowan
atau caos (menghadap raja).
lain kluwung, gedog madu, sulur ringin,
atau tuluh watu. Selain itu, ada pula motif lurik lain yang juga hanya
digunakan oleh orang-orang tertentu pada waktu tertentu pula, yaitu
yang dikenakan oleh abdi dalem dan para punggawa keraton. Ketika
menghadiri pisowanan (mengahadap raja), para abdi dalem memakai baju
peranakan dengan motif telu pat, sedangkan para prajurit keraton
masingmasing juga memakai motif lurik yang telah ditentukan. Prajurit
Jogokaryan memakai motif Jogokaryo, prajurit Mantrijeron memakai motif
mantrijero, begitu pula dengan prajurit Patangpuluhan memakai motif
patangpuluh. Seperti yang diutarakan oleh Pak Dibyo bahwa "Motif
keraton memang memiliki corak tersendiri. Ada yang me-namakannya lurik
tiga empat, untuk para abdi dalem. Nama motifnya yaitu tiga empat,
untuk per-anakan...prajurit keraton antara lain mantrijero, jogo-karyo,
patangpuluh. Motifnya sendiri-sendiri. Motif untuk abdi dalem untuk
caos atau sowan yaitu motif tiga empat." Motif lurik untuk prajurit
kraton lainnya adalah motif ketanggung yaitu yang dikenakan oleh
prajurit Ketanggungan. Mengenai motif yang tidak boleh dipakai oleh
setiap orang dikatakan oleh Ibu Nur, "Ya seperti yang dipakai oleh para
abdi dalem, peranakan, hanya dipakai oleh kalangan keraton. Tidak bisa
dipakai umum."
Namun saat ini,
menurut apa yang dituturkan oleh Pak Dibyo, bahwa para pembeli bebas
memilih motif mana yang dikehendaki. Pembeli boleh memakai kain lurik
dengan berbagai macam corak, entah itu yang semestinya di pakai untuk
sowan atau caos, ataupun yang digunakan untuk prajurit keraton. Untuk
saat ini, biasanya motif lurik yang tidak boleh dikenakan atau dijual
untuk umum yaitu yang dipakai untuk seragam sekolah, karena motif
tersebut sudah merupakan identitas atau ciri khas sekolah yang
bersangkutan.
Lurik Masa Kini
Tidak seperti
beberapa puluh tahun yang lalu, saat ini tidak banyak masyarakat yang
menaruh minat pada lurik terutama untuk dikenakan sebagai busana
sehari-hari. Hal ini tampak pada surutnya jumlah pesanan di beberapa
perusahaan tenun lurik yang ada di Yogyakarta. Bahkan di beberapa
tempat, perusahaan tenun lurik tradisional banyak yang gulung tikar.
Seperti yang terjadi di daerah Krapyak Wetan. Dahulu, di sekitar wilayah
tersebut banyak rumah atau tempat produksi tenun lurik, namun sekarang
yang tertinggal hanya satu yaitu perusahaan tenun lurik Kurnia yang
dimiliki Bapak Dibyo. Menurut cerita masyarakat setempat, di dusun
Mlangi, Kabupaten Sleman pernah berdiri perusahaan tenun lurik
tradisional, tetapi saat ini sudah tidak ada lagi. Beberapa tempat lain
yang diperkirakan masih terdapat tempat pembuatan tenun lurik, yaitu di
dusun Nggamplong, Godean, Sleman, atau di beberapa tempat di Kabupaten
Kulonprogo.
Dahulu di sana banyak
ditemui perusahaan tenun lurik, namun sekarang jika masih ada jumlahnya
sangat sedikit. Menurut beberapa orang, berbagai macam motif yang dulu
pernah dibuat, sekarang sudah tidak dibuat lagi karena peminatnya pun
sudah tidak ada. Banyak perajin di perusahaan tenun tradisional yang
sudah berusia lanjut, tetapi tidak ada regenerasi perajin untuk
meneruskan keahliannya tersebut. Saat ini orang lebih memilih pekerjaan
lain dari pada menenun. Dahulu, ketika seorang perajin menenun, ketika
ada waktu senggang ia minta anaknya untuk ikut menenun. Si anak diberi
pelajaran sedikit demi sedikit, sehingga lama kelamaan ia bisa
meneruskan pekerjaan orang tuanya. Tetapi saat ini hal ini sudah sulit
dilakukan. Generasi muda tidak lagi mau menenun, lebih memilih
pekerjaan lainnya.
Kondisi ini mendorong seorang mendorong beberapa
desainer seperti Ninik Darmawan, kelompok Lawe, PPPPTK Seni dan Budaya
untuk mengembangkan produk tekstil dengan bahan dasar lurik untuk
diangkat kembali menjadi produkproduk modern, yang tidak hanya terbatas
untuk pakian saja, tetapi lurik dijadikan sebagai bahan tas, dompet,
map, dan lain sebagainya. Untuk busana desainer Ninik Darmawan telah
mengembangkan beberapa fashion seperti gaun panjang, kemeja pria, rok,
jaket, dan sebagainya. Beberapa pakaian merupakan gabungan motif lurik
dengan kain batik. Ninik mengembangkan kain tenun lurik tersebut karena
kain yang bercorak garis-garis ini memiliki nilai kesederhanaan. Kain
yang tebuat dari bahan katun tersebut sebenarnya juga sangat cocok
dengan iklim di Indonesia. Tetapi memang kesan bahwa lurik merupakan
pakaian rakyat cukup kental. Apa yang hendak disampaikannya melalui
setiap desainnya yaitu bahwa motif lurik ini sebenarnya dapat
dikembangkan dan dapat dikenakan di berbagai tempat dan waktu.
Menurutnya dengan sentuhan desain, kain tersebut dapat diolah,
dikembangkan, dijadikan busana masa kini, tanpa merubah arti atau makna
yang terkandung di dalamnya.
Produk-produk
tekstil dari bahan lurik dengan desain baru yang indah, tidak kalah
menariknya apabila dibandingkan dengan busana-busana dari bahan batik
atau bahan lainnya. Ternyata lurik menyimpan kekuatan yang begitu
dahsyat, sebagai bagian dari kehidupan masa kini. Apa yang dilakukan
Ninik Darmawan, Lawe, dan PPPPTK Seni dan Budaya sebagai suatu bentuk
transformasi budaya, yang mengangkat budaya lama Indonesia menjadi
suatu budaya baru dengan tidak meninggalkan kekayaan yang telah
diwariskan oleh generasi sebelumnya.
Tradisi bukanlah suatu barang
yang mati, tetapi ia berkembang dan menjelma menjadi ujud baru
mengikuti perubahan jaman. Tradisi melayani kebutuhan kehidupan
manusia, sehingga tradisi harus sesuai dengan jiwa jamannya, tradisi
yang tidak berubah akan menghambat perkembangan dan akan menjadi nilai
atau produk yang basi. Dengan demikian seni tradisi seperti lurik harus
dapat melayani kehidupan manusia masa kini, sehingga lurik akan lebih
bermakna dan bermanfaat bagi kehidupan dari masa ke masa.
Tulisan ini semoga memberi inspirasi
kepada desainer di berbagai tempat di Indonesia, untuk mengangkat tenun
daerah menjadi bagian kehidupan modern, mengingat Indonesia begitu
kaya dengan berbagai macam tekstil khususnya tenun, kita akan temukan
berbagai ragam tenun yangt indah sejak tanah Papua sampai dengan
Nangroe Aceh Darussalam. Semoga kekayaan tersebut tidak menjadi
kesepian dan mati, tetapi menjadi enerji baru yang memberi kesegaraan
sebagai sebuah bangsa yang kaya dan besar..***