Sondag 21 April 2013

Oleh oleh Khas Klaten

DODOL JENANG 
Dodol jenang khas klaten adalah makanan cemilan khas klaten yang terbuat dari santan kelapa yang dimasak dengan gula aren.Cemilan ini dapat di hidangkan dalam acara-cara di rumah dan oleh-oleh untuk keluarga kesayangan anda.Jika anda berkunjung ke Jawa Tengah jangan lupa untuk mampir dan
membeli oleh-oleh.Dodol Jenang 
 

Sejarah Kota Klaten

SEJARAH KOTA KLATEN


Sejarah Kota Klaten


Penelusuran Hari Jadi Kabupaten Klaten

Daerah yang sekarang menjadi wilayah Kabupaten Klaten merupakan daerah kuno, dalam arti sudah dihuni oleh manusia sejak masa peradaban Hindu dimulai di tanah jawa.

Pada masa awal berdirinya kerajaan-kerajaan hindu jawa, klaten telah tampil kemuka, terbukti ditemukannya peninggalan-peninggalan Hindu-Budha di daerah ini, seperti candi, prasasti, dan benda-benda logam. Hal ini dapat dilihat dari nama-nama desa (daerah) di wilayah kabupaten klaten yang keberadaannya dapat dirunut hingga pada masa Hindu-Budha, seperti Puluwatu (Sekarang Desa Puluh Watu), Gumulan (Desa Gumulan, Kalikotes), Wadi hati (Desa Wedi), Mirah-Mirah (Desa Muruh) dan Upit (Ngupit Kecamatan Ngawen). Bahkan di daerah Ngupit juga diketemukan sebuah prasasti yang berkaitan dengan pendirian desa tersebut sebagai desa perdikan.   Prasasti Upit dikeluarkan oleh rakai Kayuwangi dan bertanggal 11 Nopember 866 M.


Pada masa Kerajaan Islam (Demak,Pajang,Mataram) daerah klaten yang termasuk wilayah negaragung (Negara Agung) juga menyimpan kisah-kisah sejarah yang terdokumentasi dalam cerita rakyat, babad, dan sumber sejarah lainnya. Kisah tentang Kyai Melati yang dipercaya masyarakat klaten sebagai “cikal bakal” kota Klaten merupakan awal adanya pemukiman di kota Klaten. Dari Kyai Melati inilah nanti muncul kata Klaten, namun demikian hingga akhir abad ke-18, nama Klaten belum pernah disebut, baik dalam sumber sejarah tradisional maupun kolonial.


Nama Klaten baru muncul dalam sumber sejarah, ketika desa ini dipilih sebagai tempat pendirian Benteng (Loji). Benteng (Loji) sebagai pusat kekuasaan pemerintah kolonial, setiap pendirian selalu dicatat dan diarsipkan oleh pegawai kolonial. Apalagi benteng (loji) klaten yang disebut juga dengan loji klaten, memiliki fungsi militer dan administrasi yang penting, karena berada tepat di tengah antara kekuasaan Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta, maka segala aktifitas berkaitan dengan benteng (loji) selalu tercatat dengan baik. Pendirian benteng (loji) klaten yang peletakan batu pertamanya dimulai pada hari sabtu, 28 Juli 1804. Pendirian benteng (loji) di desa Klaten dapat dianggap sebagai awal munculnya sebuah pemerintahan supra desa, karena benteng (loji) merupakan simbol kekuasaan, baik tradisional maupun kolonial.


Berdasar pada pendirian benteng inilah, maka pada tahun-tahun berikutnya klaten dipilih sebagai tempat kedudukan pos tundhan pada tanggal 12 Oktober 1840, Kabupaten Gunung Polisi pada tanggal 5 Juni 1847 (berdasarkan Staatsblad no.30 tahun 1847, Staatsblad no.32 tahun 1854 dan Staatsblad no. 209 tahun 1874) dan Kabupaten Pangreh Praja pada tanggal 12 Oktober 1918 (berdasarkan Rijksblad Surakarta, no.23 tahun 1918).

Melihat sejarah-sejarah yang terjadi di Kabupaten Klaten seperti di atas, maka tim penggali hari jadi Kabupaten Klaten memilih tanggal pendirian benteng Klaten sebagai hari dan tanggal kelahiran Kabupaten Klaten. Hal ini didasarkan pada peristiwa awal munculnya nama Klaten dalam sumber sejarah (dasar nomenklatur) dan asas kontinuitas peristiwa-peristiwa sejarah yang ada di Klaten. Di samping itu dukungan sumber sejarah tertulis tentang pendirian Benteng Klaten juga menjadi dasar dipilihnya tanggal 28 Juli 1804 sebagai hari lahirnya Kabupaten Klaten dan telah ditetapkan dengan Perda no.12 tahun 2007, tanggal 18 Juni 2007 tentang hari jadi Kabupaten Klaten.

 


Sejarah Kota Klaten


Letak dan Data Geografi


Secara geografis Kabupaten Klaten terletak diantara 110o30'-110o45' Bujur Timur dan 7o30'-7o45' Lintang Selatan.

Luas wilayah kabupaten Klaten mencapai 665,56 km2. Di sebelah timur berbatasan dengan kabupaten Sukoharjo. Di sebelah selatan berbatasan dengan kabupaten Gunungkidul (Daerah Istimewa Yogyakarta). Di sebelah barat berbatasan dengan kabupaten Sleman (Daerah Istimewa Yogyakarta) dan di sebelah utara berbatasan dengan kabupaten Boyolali.

Menurut topografi kabupaten Klaten terletak diantara gunung Merapi dan pegunungan Seribu dengan ketinggian antara 75-160 meter diatas permukaan laut yang terbagi menjadi wilayah lereng Gunung Merapi di bagian utara areal miring, wilayah datar dan wilayah berbukit di bagian selatan.

Ditinjau dari ketinggiannya, wilayah kabupaten Klaten terdiri dari dataran dan pegunungan, dan berada dalam ketinggian yang bervariasi, yaitu 9,72% terletak di ketinggian 0-100 meter dari
permukaan air laut. 77,52% terletak di ketinggian 100-500 meter dari permukaan air laut dan 12,76% terletak di ketinggian 500-1000 meter dari permukaan air laut.

Keadaan iklim Kabupaten Klaten termasuk iklim tropis dengan musim hujan dan kemarau silih berganti sepanjang tahun,  temperatur udara rata-rata 28-30o Celsius dengan kecepatan angin rata-rata sekitar 153 mm setiap bulannya dengan curah hujan tertinggi bulan Januari (350mm) dan curah hujan terrendah bulan Juli (8mm).

Cerita Rakyat Dari Klaten

Cerita Rakyat: ASAL MULA KLATEN





Berabad-abad silam, ditepi sungai Indragiri ada sebuah pondok kecil dan sudah sangat reot. Di pondok itu tinggal seorang janda dengan seorang anak laki-lakinya yang baru beranjak remaja. Anak laki-laki itu bernama Toaka. Mereka sudah tidak memiliki saudara-saudara lagi, dan hidup mereka sangat kekurangan. Pekerjaan mereka setiap hari hanya mengumpulkan kayu bakar dan kemudian ditukar kebutuhan hidup sehari-hari untuk hidup mereka.

2.
Pada suatu hari, seperti biasanya Toaka dan ibunya pergi ke hutan untuk mencari kayu bakar. Ketika keduanya sedang asyik mengumpulkan kayu, tiba-tiba mereka dikejutkan oleh dua ekor ular yang besar yang sedang berkejaran. Ular-ular itu tampaknya sedang bergumul memperebutkan sebuah benda. Keduanya saling membelit memperebutkan sebuah permata yang sangat indah berkilauan. Begitu bernafsunya ular-ular itu untuk saling membunuh, sehingga ketika permata itu terlempar sampai ditempat persembunyian Toaka dan Ibunya. Ular-ular itu tidak mempedulikannya. Ular-ula ritu tampaknya ingin membunuh lawannya terlebih dahulu, baru setelah itu mencari permatanya.

3
Permata yang berkilauan jatuh dekat sekali dengan Ibu Toaka. Tanpa berfikir panjang lagi permata itupun dipungutnya, lalu dibungkus erat-erat diujung kain selendangnya. Ibu Toaka dengan perlahan-lahan beringsut meninggalkan tempat itu dan kemudian berlari sekuat tenaga bersama Toaka. Mereka tak ingat kayu bakarnya lagi karena merasa sudah mendapatkan benda yang tak ternilai harganya. Pada malam harinya, Toaka dan Ibunya sepakat untuk menjual permata itu untuk mengentaskan hidup mereka dari kemiskinan.

4.
Pada keesokan harinya, mereka sudah berada dibandar untuk menawarkan permata dari ular itu kepada para saudagar. Namun ternyata permata permata dari ular itu termasuk jenis permata yang amat langka dan mahal harganya. Tak ada seorang saudagar pun di Indragiri yang memiliki cukup uang untuk membeli permata itu. Beruntung, kemudian datang seorang saudagar dari seberang yang sangat tertarik dengan permata itu. Namun karena uangnya banyak disimpan dirumah, maka saudagar itu mengajak Toaka ikut berlayar bersamanya.
“Berangkatlah Toaka, Ubahlah nasib kita dinegeri orang. Tapi ingat cepat-cepatlah pulang bila engkau sudah berhasil. Ibu tak akan tahan menanggung rindu,” kata ibu Toaka dengan amat sedihnya.
“Jangan kawatir, Bu. Toaka segera akan pulang dengan membawa kekayaan yang akan merubah hidup kita,” hibur Toaka dan segera melangkah naik ke sekunar (kapal layar) yang akan membawanya ke negeri seberang.

5.
Sekunar milik saudagar itu pun segera berlayar menyusuri sungai Indragiri dan kemudian berangkat ke Temasik, bandar Singapura. Toaka sangat gembira menikmati perjalanan berlayar itu, namun yang membuatnya lebih bahagia adalah bahwa tak lama lagi dia akan menjadi seorang yang kaya raya.
Singkat cerita sampailah sekunar yang dinaiki Toaka di bandar Singapura. Permata Toaka langsung dibeli oleh saudagar kaya itu. Oleh Toaka uang yang berlimpah itu sebagian digunakan untuk modal usaha berdagang. Karena keuletan dan didukung oleh modal besar, dalam waktu dua tahun saja Toaka sudah dikenal sebagai saudagar kaya-raya dibandar Singapura. Orang-orang kemudian memberi gelar Toaka saudagar muda. Rumahnya sangat besar dan bertingkat. Kedai dan tokonya tak terbilang banyaknya. Toaka pun memiliki pecalang (perahu besar untuk mengangkut barang dagangan) dan juga sekunar puluhan buah.

6.
Pada tahun ketiga, Toaka kemudian menikah dengan putri saudagar kaya raya yang elok parasnya. Putri saudagar itu bernama Nilam Sari. Toaka benar-benar sudah memiliki segalanya, rumah yang megah bagai istana, harta kekayaan yang melimpah-limpah dan istri yang cantik jelita.Toaka terlena dengan kenyamanan hidupnya dan sehingga melupakan ibunya dai kampung halaman. Pada suatu hari setelah sekian lama hidup sebagai suami-istri, Nilam Sari begitu ingin pergi ke Indragiri. Dia ingin bertemu dengan mertuanya yang sering diceritakan oleh suaminya sebagai seorang bangsawan kaya raya dari Indragiri.

7.
Akhirnya, saudagar muda Toaka tergerak pulang untuk melihat kampung halamannya. Dalam perjalanan hatinya agak resah memikirkan reaksi istrinya bila mengetahui mertuanya bukanlah seorang bangsawan kaya raya seperti yang diceritakannya. Toaka malah berharap Ibunya sudah mati sehingga tidak mempermalukan dirinya. Tanpa terasa tujuh buah sekunar yang sarat muatan mulai memasuki sungai Indragiri. Iring-iringan kapal layar itu mengiringi sebuah sekunar yang paling megah yang ditumpangi oleh saudagar muda Toaka dan Nilam Sari. Rombongan itu terus  berlayar ke udik  dan kemudian berlabuh diseuah muara cabag anak sungai Indragiri.

8.
Hati ibu Toaka berseru girang ketika mendengar kasak-kusuk bahwa rombongan saudagar yang berlabuh itu adalah saudagar muda Toaka. Maka Ibu Toaka naik ke perahu sompong miliknya dan mangayuhnya mendekati sekunar yang paling megah yang dinaiki anaknya. Saudagar muda Toaka saat itu sedang duduk-duduk bersama Nilam Sari di anjungan. Mereka sedang menikimati keindahan alam disekitar sungai Indragiri. Ibu Toaka yang sudah berada dekat sekunar itu terus memandangi saudagar kaya yang berpakaian mewah itu adalah Toaka anaknya. “Ia memang Toaka anakku,” kata ibu Toaka yakin dan mengayuh perahu sompongnya untuk lebih mendekat lagi ke sekunar.
        “Toaka….Toaka anakku!” seru Ibu Toaka sambail melambai-lambaikan tangannya ke arah anjungan sekunar.
“Toaka….Toaka ini ibumu!” teriaknya lagi.
“Siapakah orang tua berpakaian seperti pengemis itu, Kanda Toaka?” tanya Nilam Sari. “Tampaknya ia seperti mengenal betul Kakanda.”



9.
Toaka sangat terkejut mengatahui kedatangan ibunya. Perasaan malu hinggap dihatinya melihat keadaan ibunya yang tak ubahnya gelandangan itu. Dan lebih malu lagi kepada istrinya yang anak saudagar kaya.
        “Toaka! Aku ini ibumu, Toaka!” teriak ibunya berulang.
        Nilam Sari menjadi tertawa dan menghina. “ha…ha…ha…jadi itulah ibu kakanda, cuiihh! Tak sudi aku punya ibu seperti dia.”
        Bukan! Dia bukan ibuku! Mana mungkin kanda saudagar kaya raya begini beribukan gelandangan,” jawab Toaka sambil memerintahkan anak buahnya mengusir ibunya.

10.
Perasaan ibu Toaka pun menjadi hancur. Hatinya seperti disayat-sayat. Ia tak menyangka anaknya bakal mencampakkannya. Dalam kesedihannya akhirnya terucaplah sumpah ibu yang teraniaya itu.
“Toaka engkau tak pantas menjadi saudagar kaya. Engkau lebih pantas menjadi elang yang berkulik-kulik ditengah hari. Dan istrimu suka mentertawakan orang itu lebih pantas menjadi burung punai berkelekok siang hari.!”
        “Jlllaaaarrrr….!” Tiba-tiba terdengar petir menyambar-nyambar dengan dahsyatnya. Dan tanpa tanda-tanda tiba-tiba saja datang angin putting beliung pula.
        Rombongan kapal layar itu hancur hangus terbakar plrh sambaran petir yang murka dan sisanya habis tergulung badai dahsyat. Tak lama kemudian terdengar elang berkulik pada tengah hari dan burung Punai yang berkelokok siang. Suaranya menegakkan bulu roma.Bunyi kedua burung terdengar mengiba seperti memohon-mohon ampun. Namun juga memperingatkan orang agar tidak berbuat seperti dirinya. Anak-anak yang tak berbakti dab durhaka kepada orang tuanya.

Kabupaten Klaten

 
KABUPATEN KLATEN

Kabupaten Klaten adalah salah satu kabupaten di Jawa Tengah berada dibagian selatan dengan ibukotanya Kota Klaten, kabupaten ini mempunyai luas wilayah 655,56 ha. Secara geografis wilayahnya diapit oleh gunung Merapi dan pegunungan Seribu terletak diantara 7º  30?  – 7º 45? Selatan dan 110º  30? - 110º 45? Bujur Timur, secara administratif   berbatasan dengan Kabupaten Boyolai di sebelah utara, Kabupaten Sukoharjo di sebelah timur, Kabupaten Sleman (DIY) di sebelah barat, Kabupaten Gunung Kidul (DIY) di sebelah Selatan.  Posisi Klaten sangat strategis berada pada jalur utama Kota Yogyakarta yang berjarak sekitar 28 km  dan Kota Surakarta yang berjarak sekitar 35 km.
Daya Tarik Wisata Kabupaten Klaten meliputi, Candi Prambanan, Candi Bubrah, Candi Asu, Candi Sewu, Candi Merak Rowo Jombor, Deles Indah, Sumber Air Ingas, Sendang Sinongko, Sendang Bulus Jimbun, Candi Prambanan, Candi Plaosan, Makam Ki Ageng Pandanaran, Makam R. Ng. Ronggowarsito, Makam Ki Ageng Gribig, Makam Ki Ageng Perwito, Museum GulaPesanggrahan PB X, Pemandian Jolotundo, Pemandian Lumbantirto, Pemandian Tirtomoyo, Desa Wisata Melikan, Desa Wisata Duwet.
alt
Candi Prambanan
adalah mahakarya kebudayaan Hindu dari abad ke-10. Bangunannya yang langsing dan menjulang setinggi 47 meter membuat kecantikan arsitekturnya tak tertandingi.
Candi Prambanan adalah bangunan luar biasa cantik yang dibangun di abad ke-10 pada masa pemerintahan dua raja, Rakai Pikatan dan Rakai Balitung. Menjulang setinggi 47 meter (5 meter lebih tinggi dari Candi Borobudur, berdirinya candi ini telah memenuhi keinginan pembuatnya, menunjukkan kejayaan Hindu di tanah Jawa, di tengah area yang kini dibangun taman indah.
Ada sebuah legenda yang selalu diceritakan masyarakat Jawa tentang candi ini. Alkisah, lelaki bernama Bandung Bondowoso mencintai Roro Jonggrang. Karena tak mencintai, Jonggrang meminta Bondowoso membuat candi dengan 1000 arca dalam semalam. Permintaan itu hampir terpenuhi sebelum Jonggrang meminta warga desa menumbuk padi dan membuat api besar agar terbentuk suasana seperti pagi hari. Bondowoso yang baru dapat membuat 999 arca kemudian mengutuk Jonggrang menjadi arca yang ke-1000 karena merasa dicurangi.
Candi Prambanan memiliki 3 candi utama di halaman utama, yaitu Candi Wisnu, Brahma, dan Siwa. Ketiga candi tersebut adalah lambang Trimurti dalam kepercayaan Hindu. Ketiga candi itu menghadap ke timur. Setiap candi utama memiliki satu candi pendamping yang menghadap ke barat, yaitu Nandini untuk Siwa, Angsa untuk Brahma, dan Garuda untuk Wisnu. Selain itu, masih terdapat 2 candi apit, 4 candi kelir, dan 4 candi sudut. Sementara, halaman kedua memiliki 224 candi. Memasuki candi Siwa yang terletak di tengah dan bangunannya paling tinggi, anda akan menemui 4 buah ruangan. Satu ruangan utama berisi arca Siwa, sementara 3 ruangan yang lain masing-masing berisi arca Durga (istri Siwa), Agastya (guru Siwa), dan Ganesha (putra Siwa). Arca Durga itulah yang disebut-sebut sebagai arca Roro Jonggrang dalam legenda yang diceritakan di atas.
Di Candi Wisnu yang terletak di sebelah utara candi Siwa, anda hanya akan menjumpai satu ruangan yang berisi arca Wisnu. Demikian juga Candi Brahma yang terletak di sebelah selatan Candi Siwa, anda juga hanya akan menemukan satu ruangan berisi arca Brahma. Candi pendamping yang cukup memikat adalah Candi Garuda yang terletak di dekat Candi Wisnu. Candi ini menyimpan kisah tentang sosok manusia setengah burung yang bernama Garuda. Garuda merupakan burung mistik dalam mitologi Hindu yang bertubuh emas, berwajah putih, bersayap merah, berparuh dan bersayap mirip elang. Diperkirakan, sosok itu adalah adaptasi Hindu atas sosok Bennu (berarti 'terbit' atau 'bersinar', biasa diasosiasikan dengan Dewa Re) dalam mitologi Mesir Kuno atau Phoenix dalam mitologi Yunani Kuno. Garuda bisa menyelamatkan ibunya dari kutukan Aruna (kakak Garuda yang terlahir cacat) dengan mencuri Tirta Amerta (air suci para dewa).
Prambanan juga memiliki relief candi yang memuat kisah Ramayana. Menurut para ahli, relief itu mirip dengan cerita Ramayana yang diturunkan lewat tradisi lisan.
alt

Candi Sewu
merupakan kompleks candi berlatar belakang agama Buddha terbesar di Jawa tengah di samping Borobudur, yang di bangun pada akhir abad VIII M. Ditinjau dari luas dan banyaknya bangunan yang ada di dalam kompleks, diduga Candi Sewu dahulu merupakan candi kerajaan dan salah satu pusat kegiatan keagamaan yang cukup penting pada jamannya. Sedangkan dilihat dari lokasi, letak Candi Sewu yang tidak jauh dari Candi Prambanan, menunjukkan bahwa pada saat itu dua agama besar dunia yaitu Hindu dan Buddha berdampingan secara damai.
alt
Candi Plaosan
Terletak di Kecamatan Prambanan, Kabupaten Klaten, Percandian ini terdiri dari dua kelompok bangunan candi yaitu Plaosan Lord an Plaosan Kidul. Plaosan Lor memiliki dua candi utama dalam posisi berjajar utara – selatan dan menghadap ke barat, sedangkan Plaosan Kidul berada disebelah utaranya, berupa sebuah batur pendopo yang dikelilingi dua deret stupa. Kedua candi utama memiliki halaman sendiri-sendiri yang dibatasi pagar batu dengan pintu-pintu gerbang. Kedua halaman dikelilingi oleh tiga deret candi perwara dan stupa yang berjumlah 174 buah. Candi ini dibangun pada pertengahan abad 9 Masehi oleh Rakai Pikatan sebagai hadiah kepada permaisurinya. Kelompok candi Plaosan Lor (utara) terdiri atas 2 candi induk, 58 Perwara dan 126 buah stupa. Kelompok candi Plaosan Kidul (selatan) hanya berupa sebuah candi. Halaman candi induk terbagi 2 yang masing-masing diatasnya berdiri sebuah biara bertingkat dua. Tingkat atas untuk tempat tinggal para pendeta Budha dan tingkat bawah untuk kegiatan keagamaan. Alam nan permai disekitamya. Bangunan ini sangat unik, berbeda dengan bangunan bangunan sesamanya dan lebih mengesankan sebuah kraton (istana). Diperkirakan Balaputera Dewa dari dinasti Syailendra yang beragama Budha mendirikannya pada pertengahan abad 9 Masehi sebagai benteng pertahanan strategis terhadap Rakai Pikatan.
alt
Makam Sunan Pandanaran – Bayat
Makam ini juga dikenal dengan nama makam Sunan Bayat, merupakan makam seorang ulama penyebar agama Islam. Terletak di Desa Paseban, Kec. Bayat, berjarak sekitar 15 km dari Kota Klaten kearah  selatan.
Makamnya terletak di atas bukit. Kompleks makam Tembayat ini sendiri dibangun sejak tahun 1526 (sengkala: murti sarira jleging ratu) dengan nuansa Hindu yang sangat kental. Jadi lebih tua dari makam Imogiri. Desain kompleks makam ini mengikuti pandangan kosmologis masyarakat Jawa. Begitu masuk, sudah disamput gapura Segara Muncar yang berbentuk candi bentar. Gapura ini sekarang sudah menyatu dengan kompleks permukiman warga dan berdiri di sudut lapangan balai desa. Agak naik ke atas, kita akan bertemu gapura Dhuda, juga berupa candi bentar. Berturut-turut akan menemui gapura Pangrantunan berbentuk paduraksa tanpa pintu, gapura Panemut yang berbentuk candi bentar, gapura Pamuncar seperti gapura Panemut, dan gapura Bale Kencur yang berbentuk paduraksa yang berdaun pintu.  Setelah gapura terakhir, kita akan menemui masjid usianya setua usia kompleks makam ini. Ukurannya kecil, bahkan untuk masuk masjid harus menundukkan kepala. Arsitektur majsid jawa dengan 4 soko guru. Bahan kayu yang dipakai untuk sokoguru, pintu, dan jendela masih asli. Bedung yang sudah termakan usia juga masih ada, ditaruh di luar. Makam tersebut terletak di dalam sebuah bangunan yang luas dan tertutup (lihat foto bawah), dengan tembok yang tebal. Di dalam ruangan, makam tersebut juga ditutupi oleh bangunan dari kayu, dengan selambu kain warna putih.. Di sekitar bangunan tersebut juga terdapat senjata tombak dan payung.
alt
Makam R. Ng. Ranggawarsita
Makam R. Ng. Ranggawarsita terletak di Desa Palar Kab. Klaten, banyak dikunjungi oleh para peziarah terutama kaum cerdik karena diyakini bahwa beliau seorang cendikiawan yang patut diteladani.
R. Ng. Ranggawarsita sewaktu muda Burham terkenal nakal dan gemar judi. Ia dikirim kakeknya untuk berguru agama Islam pada Kyai Imam Besari pemimpin Pesantren Gebang Tinatar di Desa Tegalsari (Ponorogo). Pada mulanya ia tetap saja bandel, bahkan sampai kabur ke Madiun. Setelah kembali ke Ponorogo, konon, ia mendapat "pencerahan" di Sungai Kedungwatu, sehingga berubah menjadi pemuda alim yang pandai mengaji. Bagus Burham diangkat sebagai Panewu Carik Kadipaten Anom bergelar Raden Ngabei Ronggowarsito, menggantikan ayahnya yang meninggal di penjara Belanda tahun 1830. Lalu setelah kematian kakeknya (Yasadipura II), Ranggawarsita diangkat sebagai pujangga keraton Surakarta oleh Pakubuwana VII pada tanggal 14 September 1845.
Pada masa inilah Ranggawarsita melahirkan banyak karya sastra. Hubungannya dengan Pakubuwana VII juga sangat harmonis. Ia juga dikenal sebagai peramal ulung dengan berbagai macam ilmu kesaktian. Naskah-naskah babad cenderung bersifat simbolis dalam menggambarkan keistimewaan Ranggawarsita. Misalnya, ia dikisahkan mengerti bahasa binatang. Ini merupakan simbol bahwa, Ranggawarsita peka terhadap keluh kesah rakyat kecil. Ranggawarsita meninggal dunia secara misterius tanggal 24 Desember 1873. Anehnya, tanggal kematian tersebut justru terdapat dalam karya terakhirnya, yaitu Serat Sabdajati yang ia tulis sendiri. Hal ini menimbulkan dugaan kalau Ranggawarsita meninggal karena dihukum mati, sehingga ia bisa mengetahui dengan persis kapan hari kematiannya.
alt
Makam Ki Ageng Gribig
Ki Ageng Gribig yang bernama asli Wasibagno Timur atau ada yang menyebutkan Syekh Wasihatno, merupakan keturunan Prabu Brawijaya V dari Majapahit. Yang mana disebutkan bahwa beliau adalah putra dari Raden  Mas Guntur atau Prabu Wasi Jaladara atau Bandara Putih, putra dari Jaka Dolog adalah putra Prabu Brawijaya V raja terakhir kerajaan Majapahit. Ia adalah seorang ulama besar yang memperjuangkan Islam di pulau Jawa, tepatnya di Desa Krajan, Jatinom, Klaten
Banyak peninggalan-peninggalan beliau yang menjadi bukti sejarah bahwa Ki Ageng Gribig adalah ulama besar yang berhasil dalam dakwahnya. Salah satu peninggalannya adalah Masjid Besar Jatinom yang dulu dijadikan pusat belajar mengajar, serta tongkat beliau yang sampai sekarang dijadikan sebagai tongkat Khotib ketika shalat Jum'at, serta kolam wudhu yang konon adalah tempat wudhu Ki Ageng Gribig beserta santrinya yang berjarak 50 meter dari Masjid yang bernama Sendang Plampeyan, Gua Suran dan juga Gua Belan. Gua Suran letaknya tak jauh dari Mesjid Besar Jatinom. Gua ini, dulunya, adalah tempat bersemedi Ki Ageng Gribig. Konon, ular dan macan menjadi penjaganya, saat ia bersemedi. Meski berbentuk terowongan, Gua Suran ini tidak terlalu dalam, bahkan lebarnya hanya selebar tubuh manusia. Tingginya, memaksa orang yang masuk ke dalam untuk merunduk, agar tak terantuk atap gua. Tak jauh dari Gua Suran ini, Ki Ageng Gribig sempat memanfaatkan sebuah bangunan kecil sebagai tempat ibadah, saat ia pertama kali datang ke Jatinom.
alt

Jombor Permai
Kawasan Rawa Jombor merupakan daya tarik wisata yang memiliki potensi yang baik dengan pemandangan alamnya yang indah. Rawa Jombor mempunyai fungsi sebagai irigasi, perikanan dan rekreasi. Rawa Jombor terletak di Desa Krakitan, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten atau sebelah selatan sejauh 15 kilometer dari Kota Klaten. Merupakan daerah wisata alam dipadukan dengan kuliner hidangan air tawar. Warung apung sebetulnya hanyalah sebuah bangunan yang mengapung di atas air. Namun warung apung di Rawa Jombor ini memberikan daya tarik tersendiri berikut nuansa kuliner yang ditawarkan. Jumlah warung apung di Rawa Jombor ini cukup banyak dan dibatasi per kapling, para pengunjung tinggal memilih warung apung yang akan dijadikan tempat untuk menikmati wisata kuliner di Rawa Jombor
alt
Dales Indah
Deles Indah merupakan Obyek Wisata yang terletak di lereng kaki gunung Merapi sebelah timur ± 25 km dari Kota Klaten, Deles berada di Wilayah Desa Sidorejo Kecamatan Kemalang, dengan ketinggian antara 800 m – 1300 m diatas permukaan laut. Deles mempunyai potensi spesifik suasana pemandangan alam pegunungan. Dari obyek wisata deles dapat dilihat pemandangan puncak Merapi dengan nyata, pemandangan kota Klaten yang dihiasi dengan cerobong Perusahaan Gula gondang Baru & perusahaan Ceper Baru dengan berselendangkan Rowo Jombor dengan Jajaran Gunung Kapurnya merupakan Panorama yang Indah. Di sekitar Deles Indah ini dikenal pula beberapa peninggalan sejarah dan juga tempat rekreasi khusus antara lain  : Bekas Pesanggrahan Sunan Paku Buwono X Makam Kyai Mloyopati Sendang Kali Reno Taman Rekreasi Ngajaran Taman Pemandangan Pring Cendani Gua sapuangin / Siluman
alt
Sumber Air Ingas
Merupakan pemandian dengan sumber air alami yang berasal dari umbul sekitarnya dan dengan panorama alam yang indah serta sejuk,  Terletak  di Desa Cokro, Kec. Tulung, berjarak  sekitar 17 km dari Kota Klaten kearah utara.   Sumber Air Ingas memiliki luas ± 15.000 m2 terbentang dipinggiran kali busur yang mengalir dari utara ke selatan, sehingga pengunjung yang akan memasuki obyek wisata ini harus meniti jembatan gantung yang justru merupakan daya tarik sendiri dari obyek obyek wisata yang lain. Sumber Air Ingas dengan panorama alamnya yang sejuk dan indah, dan juga disini ada kolam renang, warung warung untuk santai serta lahan untuk tempat peristirahatan yang teduh di bawah rindangnya pepohonan yang besar dan kicauan burung. Obyek wisata ini sangat ramai apabila menjelang bulan puasa tiba banyak pengunjung yang padusan di obyek ini dengan kepercayaan bahwa puasanya akan dapat lancer tanpa halangan suatu apapun harinya.
alt

Desa Wisata Melikan
Adalah sebuah desa yang penghasilan masyarakatnya dari pengrajin gerabah, 12 Km jaraknya dari Kota Klaten. Bahan baku kerajinan gerabah Melikan menggunakan tanah liat yang diperoleh dari daerah sekitar, mempunyai keunikan karena cara pembuatannya dengan tehnik putaran miring dan pengrajinnya yang kebanyakan kaum wanita sangat menjaga adat  budaya ketimuran. Produksi kerajinan keramik  Melikan sangat beragam baik jenis, ukuran , bentuk dan warnanya. Di lokasi ini  juga terdapat Guest Hose, Gedung Laboratorium bantuan pemerintah Jepang, wisata hutan, kesenian campursari larasmadya .
alt

Desa Wisata Duwet
Terletak di Kec. Ngawen, merupakan desa agraris  dengan kehidupan masyarakat yang harmonis dan masih melestarikan tradisi  serta budaya Jawa. Mempunyai daya tarik wisata  keindahan alam, kegiatan pertanian, situs sejarah candi Merak, industri kerajinan (bambu, sulak bulu ayam, wayang kulit), tradisi lokal (bersih desa, saparan, sadranan, sambatan, kumbakarnan)  dan atraksi seni budaya seperti pertunjukan wayang, karawitan dan gejog lesung, kethoprak, jathilan, dll. Selain itu para pengunjung juga dapat menikmati makanan khas berupa rengginang ketela. Bagi wisatawan yang ingin berkunjung ke desa wisata Duwet dapat menggunakan sarana angkutan pedesaan,  dan bagi yang ingin menginap tersedia sarana akomodasi berupa pondok wisata yang dikelola masyarakat
alt

Kuliner
Jenang Melon, yaitu jenang/semacam dodol dari buah melon yang berpusat di Kalikotes, Kec. Klaten Selatan
alt

Cinderamata
Kerajinan Tatah Sungging, produksinya berupa wayang kulit, hiasan dinding dari kulit yang ditatah dengan corak wayang dll. Terletak di Desa Sidowarno, Kec.  Wonosari.
Kerajinan Payung, hasil kerajinan payung dari kayu dan kertas, hiasan dengan bentuk paying dll.
Kerajinan Tanduk, hasil kerajinannya berupa sisir, entong, tusuk konde, asbak dan pipa rokok, lambang Garuda Pancasila dll. Terdapat di Desa Keprabon, Kec. Polanharjo.
alt
Keunikan Seni Budaya
Yaqowiyu,  Perayaan "Ya Qowiyyu" pertama kali dilakukan Ki Ageng Gribig pada hari Jumat bertepatan tanggal 15 Sapar, sebagai ungkapan rasa syukur atas pemberian nikmat Allah SWT. Rasa syukur itu diungkapkan dalam puji-pujian, berupa kalimat dalam bahasa Arab "Ya Qowiyyu", yang artinya "Allah Yang Maha Perkasa (Kuat)". Kalimat itu dilafalkan berkali-kali. Akhirnya masyarakat menamai prosesi adat itu sebagai "Ya Qowiyyu". "Ya Qowiyyu" merupakan wujud sedekah berupa makanan kepada masyarakat luas. Konon Ki Ageng Gribig bersama Sultan Agung sering shalat Tarawih dan Jumat di Makkah. Suatu hari, sepulang dari Tanah Suci, mereka membawa oleh-oleh tiga buah apem. Tapi, karena jamaah shalat pada waktu sangatlah banyak, maka tiga apem itu dicampurkan dalam apem yang dibuat sendiri untuk dibagikan sebagai oleh-oleh. Meskipun berkali-kali ditambah bahannya, akan tetapi jumlah apem itu tetap belum mencukupi jumlah jamaah yang hadir. Akhirnya Ki Ageng Gribig memutuskan untuk menyebar apem itu seusai shalat Jumat di depan Masjid Besar untuk diperebutkan. Siapa yang mendapatkan apem itu, merekalah yang mendapat berkah. Sejak itu, Ki Ageng berpesan agar jamaah menyisihkan sebagian rezeki untuk bersedekah dan memberi makan pada orang miskin. Dan pesan itu diwujudkan dalam bentuk perayaan "Ya Qowiyyu" yang terus berlangsung sampai sekarang. Meskipun beliau wafat, tradisi "Ya Qowiyyu" masih tetap dilaksanakan. Bahkan dari tahun ke tahun, pengunjung yang datang dalam ritual tersebut semakin banyak. Karena halaman masjid besar Jatinom tidak dapat menampung pengunjung, maka beberapa tahun terakhir ini, pemerintah setempat mengalihkan tempat perayaan ke pinggiran sungai yang terdapat kolam. Kolam itulah yang konon adalah tempat wudhu Ki Ageng Gribig beserta santrinya yang berjarak 50 m dari Masjid. Satu minggu sebelum perayaan "Ya Qowiyyu" dibuka secara resmi, wilayah Jatinom memang tampak ramai oleh orang-orang yang khusus datang untuk menyaksikan rangkaian perayaan tradisional yang sudah berlangsung turun temurun itu. Di antara mata acara yang digelar adalah bursa benda seni, pasar malam, pengajian akbar dan berbagai pertunjukan lainnya. Puncak datangnya para pengunjung baik dari Klaten maupun dari luar kota adalah satu hari sebelum acara penyebaran apem yang biasanya dilaksanakan pada tanggal 14 Sapar pukul 09.00 pagi WIB. Mereka datang sehari sebelumnya, dan menginap di rumah-rumah penduduk di sekitar masjid. Tujuan mereka sama, melihat perayaan tradisi tersebut dan syukur-syukur bisa merebut apem . Acara penyebaran apem diawali dengan pembacaa tahlil dan doa serta acara ritual lainnya. Panitia menyediakan dua menara beton setinggi 4 meter luas 2 x 2 meter persegi sebagai pusat penyebaran apem. Sebanyak 10 orang di masing-masing menara yang mengenakan kaos putih ditugaskan melemparkan apem ke tengah-tengah kerumunan massa. Orang-orang mengacung-acungkan tangan mereka ke arah menara agar tempat mereka berdiri diberi apem. Dan, begitu apem jatuh ke arah mereka, tanpa sungkan-sungkan mereka saling dorong dan berebutan untuk mendapatkannya. Seringkali apem yang semula utuh itu lantas hancur tatkala menjadi bahan rebutan. Ada yang kreatif menggunakan jaring yang diberi galah untuk menangkap apem yang berhamburan. Apem yang disebar dalam perayaan "Ya Qowiyyu" sampai saat ini seberat 3 ton. Begitulah tradisi perayaan "Ya Qowiyyu" yang digagas Ki Ageng Gribig, yang sampai saat ini masih diyakini oleh masyarakat setempat serta yang datang dari luar kota, sebagai perayaan yang mendatangkan berkah bagi kehidupan manusia.
Bersih desa Tanjung Sari, merupakan upacara dengan menggunakan sesaji berupa makanan dan lauk pauk lengkap serta buah-buahan dengan diiringi doa bersama.
Sendratari Roro Jonggrang, mengisahkan jalinan asmara Bandung Bondowoso dengan Dewi Roro Jonggrang yang berakhir secara tragis.



 

Lurik atau Pakean khas Klaten

Koleksi Lurik Klaten






Pesona Kain Nusantara: Lurik Cantik


Berbagai penemuan sejarah menunjukan bahwa kain tenun lurik telah ada di jawa sejak zaman pra sejarah. Ini terbukti pada Prasasti peninggalan kerajaan Mataram (851-882 M) yang menunjukkan adanya kain lurik pakan malang. Prasasti Raja Erlangga Jawa Timur tahun 1033 yang menyebutkan bahwa kain tuluh watu adalah salah atu nama kain lurik. Dan juga pemakaian selendang pada arca terracotta asal Trowulan di Jawa Timur dari abad 15 M menunjukkan penggunaan kain lurik pada masa itu. Adanya tenun di pulau Jawa diperkuat dengan pemakaian tenun pada arca-arca dan relief candi yang tersebar di pulau Jawa. Daerah persebaran Lurik adalah di Yogyakarta, Solo dan Tuban. Lurik berasal dari bahasa Jawa kuno lorek yang berarti lajur atau garis, belang dapat pula berarti corak. Pada dasarnya lurik memiliki 3 motif dasar, yaitu:
1) motif lajuran dengan corak garis-garis panjang searah sehelai kain
2) motif pakan malang yang memiliki garis-garis searah lebar kain,
yang ke-3) motif cacahan adalah lurik dengan corak kecil-kecil.
Pada jaman dahulu, kain lurik ditenun menggunakan benang katun yang dipintal dengan tangan dan ditenun menjadi selembar kain dengan alat yang disebut Gedog, alat ini menghasilkan kain dengan lebar 60cm saja. Seiring dengan perkembangan jaman, kain lurik mulai diproduksi menggunakan ATBM (Alat Tenun Bukan Mesin) yang lebih modern dan dapat menghasilkan kain dengan lebar 150cm. Proses pemintalan kain katun sudah dilakukan secara moderen, yaitu menggunakan mesin. Salah satu inti yang membuat sebuah kain disebut sebagai kain lurik adalah penggunaan benang katun, sehingga menghasilkan tekstur yang khas pada kain ini. Sehingga sebuah kain bermotif lurik yang dipintal dari benang polyester, tidak dapat disebut sebagai kain lurik, karena teksturnya yang berbeda dengan kain lurik yang terbuat dari katun.

Karena teksturnya yang khas dan kekuatan kain ini, penggunaan kain lurik tidak terbatas untuk pemakaian sehari-hari seperti pakaian dan kain gendong namun juga digunakan untuk perlengkapan interior. Yang menyenangkan dari kain lurik adalah, meskipun ketika masih baru teksturnya sangat kasar dan kaku, namun ketika telah digunakan beberapa lama, teksturnya berubah menjadi lebih lembut tapi tidak berkurang kekuatannya.
Pada awalnya, kain lurik hanya dibuat dalam dua warna saja, yaitu hitam dan putih dengan corak garis atau kotak, namun kini banyak terdapat kain lurik dengan beragam warna, seperti biru, merah, kuning, coklat dan hijau. Yang membedakan tiap motif adalah susunan warnanya, misalnya 3 warna merah, 4 warna biru dengan bahan dasar hitam. Masing-masing komposisi warna dan garis pada kain lurik memiliki makna tertentu. Seperti kain lurik gedog madu, yang digunakan pada upacara mitoni atau siraman; kemudian ada lagi kain lurik motif lasem yang digunakan untuk perlengkapan pengantin pada

Senin, 09 Agustus 2010

OMZET JELANG LEBARAN NAIK 100 PERSEN: Kain Lurik Rambah Luar Negeri

Laporan wartawan KOMPAS Mawar Kusuma Wulan
Jumat, 30 Juli 2010 | 08:47 WIB
YOGYAKARTA, KOMPAS.com — Modifikasi kain lurik Yogyakarta menjadi beragam produk, seperti pakaian dan aksesori semakin digemari masyarakat. Jelang Lebaran kali ini, permintaan kain lurik dari masyarakat sudah meningkat hingga dua kali lipat dibandingkan dengan hari biasa.
Kekhasan corak kain lurik tradisional dan proses pembuatannya yang masih menggunakan tangan menyebabkan nilai jual produk turunan kain lurik tinggi. Tak hanya pasar dalam negeri, kain lurik pun mulai merambah pangsa luar negeri.
"Kami ingin mengangkat lurik yang selama ini hanya dijual sebagai kain selendang agar bisa menyentuh generasi muda," kata Manajer Direktur Kerajinan Lawe Fitria Werdiningsih saat ditemui di bengkel kerja Lawe di Bugisan, Bantul, DI Yogyakarta, Kamis (29/7/2010).
Sebelum ada upaya modifikasi, kain lurik sering kali dicap kuno, tidak trendi, dan berwarna gelap. Kini, beragam gerai kerajinan, seperti Lawe, mulai memberikan sentuhan inovasi baru lewat pewarnaan yang lebih cerah dengan motif beragam. Namun, pembuatan kain lurik dipertahankan melalui cara tradisional dengan penggunaan alat tenun bukan mesin.
Lawe bekerja sama dengan 50 penenun tradisional di Bantul dan 20 penjahit. Beberapa produk yang dihasilkan berupa gantungan kunci, dompet, tas, pakaian, hingga bed cover. Harga beragam produk itu berkisar antara Rp 5.000 dan Rp 1,1 juta. Rentang harga pakaian lurik Rp 200.000-Rp 300.000 per potong. Bidikan utama Lawe adalah masyarakat kelas menengah ke atas.
Kelompok usaha bersama abdi dalem Keraton di Kota Gede juga tertarik menggalakkan usaha kecil pembuatan pakaian tradisional dari kain lurik. Mereka memanfaatkan motif kain lurik tradisional yang didominasi warna hitam, cokelat, dan putih. Menurut salah satu anggotanya, Budi Raharjo, setiap orang bisa menyelesaikan dua pakaian lurik per hari yang dijual Rp 120.000 per potong.
Pangsa pasar kain lurik pun terbuka luas. Tak hanya Yogyakarta, beberapa kota besar, seperti Jakarta dan Denpasar, juga meminati kain lurik. Menurut Fitria, Lawe juga telah mengembangkan pemasaran dengan mulai merintis ekspor dengan pengiriman sampel produk ke Belgia dan Australia.

Sabtu, 06 Maret 2010

Lurik, Dari Masa ke Masa

sumber: http://www.houseoflawe.com/id/jelajah/sejarah-lurik.html
Abstrak
"Indonesia dikaruniai keragaman suku bangsa yang masing-masing memiliki budayanya sendiri. Hal tersebut terlihat pula pada cara berpakaian yang tidak sama antara satu suku bangsa dengan suku bangsa lainnya, berbeda dalam gaya, bentuk serta bahan yang digunakan, kemudian menjadi ciri khas masing-masing daerah bersangkutan. Demikian halnya dengan masyarakat Jawa di Yogyakarta, memiliki pakaian tradisional yang khas, yaitu salah satunya lurik."


Lurik merupakan nama kain, kata lurik sendiri berasal dari bahasa Jawa, lorek yang berarti garisgaris, yang merupakan lambang kesederhanaan. Sederhana dalam penampilan maupun dalam pembuatan namun sarat dengan makna (Djoemena, Nian S., 2000). Selain berfungsi untuk menutup dan melindungi tubuh, lurik juga memiliki fungsi sebagai status simbol dan fungsi ritual keagamaan. Motif lurik yang dipakai oleh golongan bangsawan berbeda dengan yang digunakan oleh rakyat biasa, begitu pula lurik yang dipakai dalam upacara adat disesuaikan dengan waktu serta tujuannya.

Nama motifnya diperoleh dari nama flora, fauna, atau dari sesuatu benda yang dianggap sakral. Motif lurik tradisional memiliki makna yang mengandung petuah, cita-cita, serta harapan kepada pemakainya. Namun demikian saat ini pengguna lurik semakin sedikit dibandingkan beberapa puluh tahun yang lalu. Perajinnya pun dari waktu ke waktu mulai menghilang.

Lurik menurut Ensiklopedi Nasional Indonesia (1997) adalah suatu kain hasil tenunan benang yang berasal dari daerah Jawa Tengah dengan motif dasar garis-garis atau kotak-kotak dengan warna-warna suram yang pada umumnya diselingi aneka warna benang. Kata lurik berasal dari akar kata rik yang artinya garis atau parit yang dimaknai sebagai pagar atau pelindung bagi pemakainya. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990), lurik adalah kain tenun yang memiliki corak jalurjalur, sedangkan dalam Kamus Lengkap Bahasa Jawa(Mangunsuwito:20 02) pengertian lurik adalah corak lirik-lirik atau lorek-lorek, yang berarti garis-garis dalam bahasa Indonesia.

Dan berbagai definisi yang telah disebutkan di atas, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa lurik merupakan kain yang diperoleh melalui proses penenunan dari seutas benang (lawe) yang diolah sedemikian rupa menjadi selembar kain katun. Proses yang dimaksud yaitu diawali dari pembuatan benang tukel, tahap pencelupan yaitu pencucian dan pewarnaan, pengelosan dan pemaletan, penghanian, pencucuk-an, penyetelan, dan penenunan. Motif atau corak yang dihasilkan berupa garis-garis vertikal maupun horisontal yang dijalin sedemikian rupa sesuai warna yang dikehendaki dengan berbagai variasinya.

Tidak banyak ditemui tulisan mengenai kain tenun lurik. Hanya ada beberapa saja, antara lain yang ditulis oleh Nian S.Djoemena dalam bukunya yang berjudul Lurik, Garis-garis Bertuah. Dalam buku tersebut dijelaskan mengenai proses pembuatan kain lurik beserta alat yang digunakan. Selain itu, diuraikan pula mengenai macam macam motif lurik, makna, waktu pemakaian, dan fungsinya secara garis besar terutama dalam acara ritual keagamaan dan dalam upacara perkawinan. Lurik yang diuraikan dalam buku tersebut tidak hanya terbatas pada motif lurik Yogyakarta, ada pula motif Jawa Tengah dan Tuban, ada pula motif irip lurk yang terdapat di luar Jawa maupun Juan Indonesia. Namun, buku ini belum menjelaskan lebih lanjut mengenai perkembangan lurik saat ini dan usaha pelestariannya. Kain lurik merupakan kain tenun dengan motif garisgaris pada sehelai kain. Kata Lurik berasal dari bahasa Jawa yaitu lorek yang berarti lajur atau garis (Djoemena, Nian.S: 2000). Namun pakaian atau kain dengan motif lorek tidak dapat secara langsung disebut lurik, karena lurik harus memenuhi persyaratan yang berkaitan dengan bahan tertentu dan diolah melalui proses tertentu pula, mulai dari pewarnaan, pencelupan, pengkelosarf, pemaletan, peghanian, pencucukan, penyetelan, sampai pada penenunan, hingga nantinya menjadi kain yang slap dipakai. Motif kain lurik ternyata tidak hanya berupa garis-garis membujur saja, tetapi dalam perkembangannya kemudian, motif kotak-kotak sebagai hasil kombinasi antara garis melintang dengan garis membujur dapat dikategorikan sebagai lurik.
Tidak hanya berupa garis, motif kain lurik ada juga yang berupa kotak-kotak yang merupakan perpaduan dua garis vertikal dan horisontal yang pada kain tenun yang bercorak garis atau kotak saja, akan tetapi termasuk pula kain polos dengan berbagai warna, seperti merah dan hijau atau dikenal dengan nama lurik polosan. Seperti apa yang diungkapkan Dibyo bahwa "Sifat lurik yaitu: bahannya dari katun, gambar garis, tetapi kadang bikin kotak-kotak, ataupun polos. Meskipun polos, namanya tetap lurik."

Nilai Kehidupan
Salah satu keunggulan manusia adalah bahwa ia memiliki daya kreatif untuk membuat, membentuk apa yang ada di sekelilingnya, kemudian diolah menjadi sesuatu yang bermanfaat. Daya kreativitas tersebut merupakan bagian yang penting dalam proses berkarya seni. Seni merupakan kegiatan kreatif imajinasi manusia untuk menerangkan, memahami, dan menikmati kehidupan (Haviland:1993). Dengan daya kreatif yang dimilikinya, manusia berusaha menciptakan pakaian yang dibuat dari kapas atau bahan lain, kemudian ditenun menjadi kain. Kain dijahit menjadi pakaian.

Seni memiliki tujuan praktis. Tujuan praktis ini merupakan guna atau manfaat yang diperoleh secara langsung bagi penggunanya. Tujuan praktis dari pakaian yaitu untuk melindungi tubuh dari hawa dingin, gigitan serangga, terik matahari dan berbagai gangguan lainnya. Selain itu seni memiliki fungsi sebagai norma perilaku yang teratur, meneruskan adat kebiasaan dan nilai-nilai budaya (Haviland:1993). Dalam adat berpakaian, seperti dalam penggunaan kain lurik, terdapat nilai budaya yang akan disampaikan dan untuk diteruskan kepada generasi selanjutnya.

Pada suatu masyarakat tradisional, selain memiliki fungsi guna atau manfaat, pakaian seringkali memiliki fungsi lain seperti fungsi status simbol, maupun ritual keagamaan, pada motif- motif tertentu terdapat kandungan nilai, harapan, dan sebagainya. Orang yang memiliki kedudukan sosial tinggi berbeda pakaiannya dengan orang yang status sosialnya lebih rendah, pakaian yang dikenakan seorang bangsawan berbeda dengan rakyat biasa, entah itu berbeda model maupun motifnya. Begitu pula pakaian yang dipakai untuk upacara tertentu berbeda dengan yang dipakai pada hari biasa.

Sesuai dengan keanekaragaman umat manusia, pakaian yang digunakan juga bermacammacam dan bervariasi. Pada masyarakat yang masih menjunjung tinggi nilai-nilai tradisinya seperti yang terdapat pada kelompok-kelompok suku bangsa di Indonesia, pakaian yang digunakan menunjukkan identitas dari suatu suku bangsa. Dalam hal ini pakaian bukanlah semata-mata sebagai suatu benda materi yang hanya dipakai tanpa memiliki arti apapun. Kain lurik misalnya, merupakan suatu simbol karena ia memiliki makna. Simbol merupakan tanda yang dapat ditafsirkan (Geertz:1992,17) atau diekplanasikan. Makna-makna tersebut merupakan sesuatu yang tidak tampak tetapi dapat dilihat melalui penafsiranpenafsiran, pemahaman-pemahaman yang kemudian ditata sedemikian rupa. Simbol merupakan segala sesuatu (benda, peristiwa, tindakan, ucapan, dan sebagainya) yang telah ditempeli arti tertentu. Simbol bukan milik individu, namun milik suatu kelompok masyarakat. Kelompok masyarakat tersebut terdiri dari sekumpulan orang yang memiliki sistem pengetahuan, gagasan, ide, adat kebiasaan serta norma perilaku yang sama, yang diungkapkan dalam tata cara kehidupan manusia yang terwujud dalam benda-benda budaya.
Kain tenun lurik merupakan salah satu benda budaya karena dimiliki oleh suatu masyarakat tertentu. Benda ini merupakan wujud fisik dari ide, nilai, maupun norma yang mengatur dan memberi arah bagi masyarakat pada suatu kebudayaan tertentu. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Koentjaraningrat (2000) bahwa terdapat tiga wujud kebudayaan, yaitu norma sebagai tata kelakuan yang mengatur dan memberi arah, aktivitas yang berpola, dan benda hasil karya manusia sebagai wujud fisiknya.

Manusia tidak dapat terlepas dari simbol, karena manusia adalah binatang yang terjerat dalam jaringan-jaringan makna yang ditenunnya sendiri (Geertz:1992). Di setiap waktu dan disegala tempat, manusia selalu berhubungan dengan simbol atau lambang karena is berpikir, berperasaan, dan bersikap dengan ungkapanungkapan simbolis (Herusatoto: 1987). Simbol atau lambang ini merupakan hal yang penting bagi masyarakat pendukungnya. Menurut Ernst Cassirer (1944) bahwa manusia tidak dapat melihat„ menemukan, dan mengenai dunia secara langsung tetapi melalui berbagai simbol. Simbol yang terwujud dalam benda-benda budaya, dalam hal ini adalah kain tenun lurik merupakan sesuatu yang penting bagi masyarakat pendukungnya. Melalui kain lurik ini terdapat pesan, nasihat dan panduan hidup yang disampaikan dan diharapkan nantinya dapat terus diteruskan ke generasi selanjutnya. Terdapat beberapa hal mengenai simbol seperti ditulis oleh C.A Van Peursen (1976), bahwa simbol atau lambang memperlihatkan kaidah dalam perbuatan manusia. Kaidah itu berhubungan dengan seluruh pola kehidupan, perbuatan, dan harapan manusia. Simbol muncul ketika manusia sedang belajar dan untuk menampung hasil belajarnya manusia menggunakan media bahasa, baik bahasa lisan, tulisan, gerak, maupun visual. Pengetahuan yang diperoleh manusia dari hasil belajar semakin lama semakin bertambah. Untuk mempermudah penyerapan pengtahuan yang semakin banyak tersebut, bahasa kemudain dialihkan menjadi lambang, simbol abstrak. Pengertian bahasa disini menjadi meluas meliputi berbagai bentuk lambang berupa tarian, gambar, kata, maupun isyarat. Lambang yang diungkapkan melalui media bahasa ini digunakan dalam rangka meneruskan, mewariskan ajaran kepada generasi setelahnya. Dari simbol yang terdapat pada kain lurik ini dapat ditemukan harapan, ungkapan, pelajaran positif yang dapat diambil dan dijadikan pelajaran bagi generasi selanjutnya dalam menentukan langkah menuju kehidupan yang lebih baik. Meskipun saat ini tidak banyak lagi yang mengetahui apa makna dibalik motif lurik, namun ada sebagian orang yang berusaha bertahan untuk membuat dan mengenakannya baik dalam acara-acara tertentu, maupun dalam kehidupan sehari-hari.

Sejarah Lurik
Dalam Ensiklopedi Nasional Indonesia (1997) disebutkan bahwa lurik diperkirakan berasal dari daerah pedesaan di Jawa, tetapi kemudian berkembang, tidak hanya menjadi milik rakyat, tetapi juga dipakai di lingkungan keraton. Pada mulanya, lurik dibuat dalam bentuk sehelai selendang yang berfungsi sebagai kemben (penutup dada bagi wanita) dan sebagai alat untuk menggendong sesuatu dengan cara mengikatkannya pada tubuh, sehingga kemudian lahirlah sebutan lurik gendong. Dan beberapa situs peninggalan sejarah, dapat diketahui bahwa pada masa Kerajaan Majapahit, lurik sudah dikenal sebagai karya tenun waktu itu. Bahwa lurik sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat lampau, dapat dilihat dari cerita Wayang Beber yang menggambarkan seorang ksatria melamar seorang putri Raja dengan alat tenun gendong sebagai mas kawinnya. Keberadaan tenun lurik ini tampak pula dalam salah satu relief Candi Borobudur yang menggambarkan orang yang sedang menenun dengan alat tenun gendong. Selain itu adanya temuan lain, yaitu prasasti Raja Erlangga dari Jawa Timur pada tahun 1033 menyebut kain Tuluh Watu sebagai salah satu nama kain lurik (Djoemena, Nian.S:2000).

Pada awalnya, motif lurik masih sangat sederhana, dibuat dalam warna yang terbatas, yaitu hitam, putih atau kombinasal antarkeduanya. Pada jaman dahulu proses pembuatan tenun lurik ini dimulai dari menyiapkan bahan yaitu benang (lawe). Benang ini berasal dari tumbuhan perdu dengan warna dominan hitam dan putih. Selanjutnya, benang tadi diberi warna dengan menggunakan pewarna tradisional, yaitu yang bernama Tarum) dan dari kulit batang mahoni. Hasil rendaman daun pohon Tom menghasilkan warna nila, biru tua, dan hitam, sedangkan kulit batang mahoni menghasilkan warna coklat.

Sebelum ditenun, benang dicuci berkali-kali, kemudian dipukul-pukul hingga lunak (dikemplong), setelah itu dijemur, lalu dibaluri nasi dengan menggunakan kuas yang terbuat dari sabut kelapa. Setelah bahan atau benang ini kaku, kemudian diberi warna. Setelah itu dijemur kembali dan benang siap untuk ditenun. Dahulu, alat yang digunakan untuk menenun dikenal dua macam alat, yaitu alat tenun bendho dan alat tenun gendong. Adapun alat tenun bendho terbyat dari bambu atau batang kayu, biasanya digunakan untuk membuat stagen. Stagen yaitu ikat pinggang dari tenunan benang yang sangat panjang dan digunakan untuk pengikat kain (jarik) oleh para wanita Jawa. Alat tenun ini digunakan dengan posisi berdiri. Disebut sebagai alat tenun bendho karena alat yang digunakan untuk merapatkan benang pakan berbentuk bendho (golok), sedangkan alat tenun gendong digunakan untuk membuat bahan pakaian, selendang lebar, maupun jarik (kain panjang). Disebut demikian karena salah satu bagiannya diletakkan di belakang pinggang, sehingga tampak seperti digendong. Dalam proses pembuatan kainnya, penenun dalam posisi duduk memangku alat tenun tersebut.
Dahulu, kain lurik dipakai hampir oleh semua orang, sebagai busana sehari-hari. Untuk wanita dibuat kebaya, atau tapih/nyamping/jarik (kain untuk bawahan). Untuk pria, sebagai bahan baju pria, di Solo disebut dengan beskap, sedangkan di Yogyakarta dinamakan dengan surjan. Selain itu, lurik juga dibuat selendang (jarik gendong) yang biasanya dipakai oleh bakul (pedagang) di pasar untuk menggendong tenggok (wadah yang terbuat dari anyaman bambu), terutama di daerah Solo dan Klaten Jawa Tengah. Selain dibuat untuk bahan pakaian ataupun selendang, yang lebih penting lagi bahwa kain lurik ini dahulu digunakan dalam upacara yang berkaitan dengan kepercayaan, misalnya labuhan ataupun upacara adat lain seperti ruwatan, siraman, mitoni, dan sebagainya.

Beberapa Macam Corak Lurik
Meskipun motif lurik ini hanya berupa garisgaris, namun variasinya sangat banyak. Terdapat banyak ragam motif kain lurik tradisional, seperti yang ditulis oleh Nian S.Djoemena (2000) mengenai nama-nama corak, yaitu antara lain: corak klenting kuning, sodo sakler, lasem, tuluh watu, lompong keli, kinanti, kembang telo, kembang mindi, melati secontong, ketan ireng, ketan salak, dom ndlesep, loro-pat, kembang bayam, jaran dawuk, kijing miring, kunang sekebon, dan sebagainya. Dalam Ensiklopedi Indonesia (1997) di-

sebutkan pula beberapa motif seperti ketan ireng, gadung mlati, tumenggungan, dan bribil. Dalam perkembangannya muncul motif- motif lurik baru yaitu: yuyu sekandang, sulur ringin, lintang kumelap, polos abang, polos putih, dan masih banyak lagi. Motif yang paling mutahir adalah motif hujan gerimis, tenun ikat, dam mimi, dan galer.

Dahulu macam ragam corak lurik sangat banyak, tetapi sekarang banyak yang sudah terlupakan. Tidak semua orang termasuk para perajin lurik yang ada sekarang ini tahu dan ingat motif apa saja yang pernah ada, seperti yang dialami oleh Pak Dibyo. Saat ini perusahaan tenun lurik seperti milik Bapak Dibyo Sumarto, yaitu perusahaan tenun lurik Kurnia tidak membuat motif lurik seperti yang disebutkan di atas, karena peminatnya tidak ada lagi. Motif-motif lurik yang sekarang dibuat lebih bervariasi, disesuaikan dengan warna-warna yang sedang disukai atau sedang trend. Jadi, motif atau corak lurik yang ia buat cenderung selalu berubah dan makin berkembang. Beberapa motif disesuaikan dengan yang dikehendaki oleh para pembeli. Begitu pula dengan perusahaan tenun lurik yang dikelola oleh Ibu Nur. Beliau bahkan tidak banyak membuat motif tenun jika tidak ada pesanan. Beberapa kain lurik ia buat saat ini lebih banyak untuk seragam sekolah dan selendang. Begitu pula dengan perusahaan tenun Kurnia yang lebih banyak mendapatkan pesanan dari sekolah-sekolah yang membutuhkan seragam. Selain itu pembelinya kebanyakan dari siswa sekolah yang sedang praktek tata busana.

Namun demikian, perusahaan tenun ini masih membuat beberapa kain lurik tradisional yang masih dipakai dari jaman dulu hingga sekarang, yaitu yang dipakai di lingkungan keraton seperti yang dikenakan oleh para abdi dalem dan para prajuritnya.
Motif yang dipakai para abdi dalem kerajaan tersebut dinamakan corak telu-pat atau tiga empat dalam bahasa Indonesia. Pakaian dengan motif ini dinamakan baju peranakan. Baju ini dikenakan oleh mereka ketika sowan atau caos (menghadap raja).
lain kluwung, gedog madu, sulur ringin, atau tuluh watu. Selain itu, ada pula motif lurik lain yang juga hanya digunakan oleh orang-orang tertentu pada waktu tertentu pula, yaitu yang dikenakan oleh abdi dalem dan para punggawa keraton. Ketika menghadiri pisowanan (mengahadap raja), para abdi dalem memakai baju peranakan dengan motif telu pat, sedangkan para prajurit keraton masingmasing juga memakai motif lurik yang telah ditentukan. Prajurit Jogokaryan memakai motif Jogokaryo, prajurit Mantrijeron memakai motif mantrijero, begitu pula dengan prajurit Patangpuluhan memakai motif patangpuluh. Seperti yang diutarakan oleh Pak Dibyo bahwa "Motif keraton memang memiliki corak tersendiri. Ada yang me-namakannya lurik tiga empat, untuk para abdi dalem. Nama motifnya yaitu tiga empat, untuk per-anakan...prajurit keraton antara lain mantrijero, jogo-karyo, patangpuluh. Motifnya sendiri-sendiri. Motif untuk abdi dalem untuk caos atau sowan yaitu motif tiga empat." Motif lurik untuk prajurit kraton lainnya adalah motif ketanggung yaitu yang dikenakan oleh prajurit Ketanggungan. Mengenai motif yang tidak boleh dipakai oleh setiap orang dikatakan oleh Ibu Nur, "Ya seperti yang dipakai oleh para abdi dalem, peranakan, hanya dipakai oleh kalangan keraton. Tidak bisa dipakai umum."

Namun saat ini, menurut apa yang dituturkan oleh Pak Dibyo, bahwa para pembeli bebas memilih motif mana yang dikehendaki. Pembeli boleh memakai kain lurik dengan berbagai macam corak, entah itu yang semestinya di pakai untuk sowan atau caos, ataupun yang digunakan untuk prajurit keraton. Untuk saat ini, biasanya motif lurik yang tidak boleh dikenakan atau dijual untuk umum yaitu yang dipakai untuk seragam sekolah, karena motif tersebut sudah merupakan identitas atau ciri khas sekolah yang bersangkutan.

Lurik Masa Kini
Tidak seperti beberapa puluh tahun yang lalu, saat ini tidak banyak masyarakat yang menaruh minat pada lurik terutama untuk dikenakan sebagai busana sehari-hari. Hal ini tampak pada surutnya jumlah pesanan di beberapa perusahaan tenun lurik yang ada di Yogyakarta. Bahkan di beberapa tempat, perusahaan tenun lurik tradisional banyak yang gulung tikar. Seperti yang terjadi di daerah Krapyak Wetan. Dahulu, di sekitar wilayah tersebut banyak rumah atau tempat produksi tenun lurik, namun sekarang yang tertinggal hanya satu yaitu perusahaan tenun lurik Kurnia yang dimiliki Bapak Dibyo. Menurut cerita masyarakat setempat, di dusun Mlangi, Kabupaten Sleman pernah berdiri perusahaan tenun lurik tradisional, tetapi saat ini sudah tidak ada lagi. Beberapa tempat lain yang diperkirakan masih terdapat tempat pembuatan tenun lurik, yaitu di dusun Nggamplong, Godean, Sleman, atau di beberapa tempat di Kabupaten Kulonprogo.

Dahulu di sana banyak ditemui perusahaan tenun lurik, namun sekarang jika masih ada jumlahnya sangat sedikit. Menurut beberapa orang, berbagai macam motif yang dulu pernah dibuat, sekarang sudah tidak dibuat lagi karena peminatnya pun sudah tidak ada. Banyak perajin di perusahaan tenun tradisional yang sudah berusia lanjut, tetapi tidak ada regenerasi perajin untuk meneruskan keahliannya tersebut. Saat ini orang lebih memilih pekerjaan lain dari pada menenun. Dahulu, ketika seorang perajin menenun, ketika ada waktu senggang ia minta anaknya untuk ikut menenun. Si anak diberi pelajaran sedikit demi sedikit, sehingga lama kelamaan ia bisa meneruskan pekerjaan orang tuanya. Tetapi saat ini hal ini sudah sulit dilakukan. Generasi muda tidak lagi mau menenun, lebih memilih pekerjaan lainnya.
Kondisi ini mendorong seorang mendorong beberapa desainer seperti Ninik Darmawan, kelompok Lawe, PPPPTK Seni dan Budaya untuk mengembangkan produk tekstil dengan bahan dasar lurik untuk diangkat kembali menjadi produkproduk modern, yang tidak hanya terbatas untuk pakian saja, tetapi lurik dijadikan sebagai bahan tas, dompet, map, dan lain sebagainya. Untuk busana desainer Ninik Darmawan telah mengembangkan beberapa fashion seperti gaun panjang, kemeja pria, rok, jaket, dan sebagainya. Beberapa pakaian merupakan gabungan motif lurik dengan kain batik. Ninik mengembangkan kain tenun lurik tersebut karena kain yang bercorak garis-garis ini memiliki nilai kesederhanaan. Kain yang tebuat dari bahan katun tersebut sebenarnya juga sangat cocok dengan iklim di Indonesia. Tetapi memang kesan bahwa lurik merupakan pakaian rakyat cukup kental. Apa yang hendak disampaikannya melalui setiap desainnya yaitu bahwa motif lurik ini sebenarnya dapat dikembangkan dan dapat dikenakan di berbagai tempat dan waktu. Menurutnya dengan sentuhan desain, kain tersebut dapat diolah, dikembangkan, dijadikan busana masa kini, tanpa merubah arti atau makna yang terkandung di dalamnya.

Produk-produk tekstil dari bahan lurik dengan desain baru yang indah, tidak kalah menariknya apabila dibandingkan dengan busana-busana dari bahan batik atau bahan lainnya. Ternyata lurik menyimpan kekuatan yang begitu dahsyat, sebagai bagian dari kehidupan masa kini. Apa yang dilakukan Ninik Darmawan, Lawe, dan PPPPTK Seni dan Budaya sebagai suatu bentuk transformasi budaya, yang mengangkat budaya lama Indonesia menjadi suatu budaya baru dengan tidak meninggalkan kekayaan yang telah diwariskan oleh generasi sebelumnya.
Tradisi bukanlah suatu barang yang mati, tetapi ia berkembang dan menjelma menjadi ujud baru mengikuti perubahan jaman. Tradisi melayani kebutuhan kehidupan manusia, sehingga tradisi harus sesuai dengan jiwa jamannya, tradisi yang tidak berubah akan menghambat perkembangan dan akan menjadi nilai atau produk yang basi. Dengan demikian seni tradisi seperti lurik harus dapat melayani kehidupan manusia masa kini, sehingga lurik akan lebih bermakna dan bermanfaat bagi kehidupan dari masa ke masa.

Tulisan ini semoga memberi inspirasi kepada desainer di berbagai tempat di Indonesia, untuk mengangkat tenun daerah menjadi bagian kehidupan modern, mengingat Indonesia begitu kaya dengan berbagai macam tekstil khususnya tenun, kita akan temukan berbagai ragam tenun yangt indah sejak tanah Papua sampai dengan Nangroe Aceh Darussalam. Semoga kekayaan tersebut tidak menjadi kesepian dan mati, tetapi menjadi enerji baru yang memberi kesegaraan sebagai sebuah bangsa yang kaya dan besar..***